Pertama, pelaksanaan harmonisasi rancangan dan evaluasi produk hukum daerah untuk mendorong pemenuhan hak-hak perempuan, hak anak, hak penyandang disabilitas, dan hak kelompok masyarakat adat agar tidak mengalami diskriminasi.
Kedua, pengelolaan distribusi/sebaran jumlah tenaga guru di daerah tetap terjaga keseimbangannya baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dengan tujuan agar kualitas pendidikan SD, SMP sampai pada jenjang SLTA tetap seimbang.
Ketiga, penyediaan ruang laktasi yang memadai bagi perempuan yang bekerja di perkantoran milik pemerintah maupun swasta dalam rangka implementasi UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif (Pasal 30, 31, dan 32).
Keempat, pemantauan dan penyelesaian perkara “implementasi produk hukum daerah” sebagai garansi dari pemerintah bahwa masyarakat memperoleh penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM.
Kelima, pelayanan komunikasi masyarakat dimana setiap instansi pemerintah yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat wajib membuat loket layanan pengaduan.
“Aksi HAM daerah sebagaimana disebutkan, wajib dilaksanakan dan dilaporkan kepada pemerintah pusat melalui sekretariat bersama secara periodik yang dipantau langsung oleh kantor Staf Presiden,” ujar Ali Mazi.
Kabupaten kota yang tidak menyampaikan laporan pelaksanaan aksi HAM di daerahnya, kata dia, akan mendapat rapor merah.
“Tentu ini harus menjadi perhatian serius, bagi ketiga pemerintah daerah tersebut. Harapan saya, untuk 2021 dan tahun-tahun berikutnya, bukan hanya 14 kabupaten kota saja yang berhasil tetapi meningkat lagi menjadi 17 daerah harus meraih predikat sebagai kabupaten kota peduli HAM,” harap Ali Mazi.
Penulis: Basisa
Jangan lewatkan video terbaru:
Discussion about this post