PENASULTRA.ID, LUWU TIMUR – Kehadiran tambang selalu identik dengan isu pencemaran air dan kerusakan lingkungan. Namun, di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), aktivitas pertambangan nikel yang dikelola oleh PT Vale Indonesia mampu menepis paradigma tersebut.
PT Vale di Blok Sorowako dikelilingi ekosistem danau Malili yang terdiri dari tiga La Galigo, yaitu Danau Matano, Towuti dan Danau Mahalona. Selama 54 tahun beroperasi, perusahaan tambang asal Brazil ini terbukti mampu menjaga kelestarian danau disekitarnya. Misalnya di Danau Matano, PT Vale secara konsisten berhasil mengelola dengan baik kondisi ekosistem danau yang sangat dekat dengan lokasi operasional.

Pesisir danau terdalam di Asia Tenggara dengan kedalaman mencapai 590 meter ini pun masih sangat asri dengan berbagai tanaman, seperti bakau (mangrove) dan tanaman keras lainnya. Beberapa titik di pesisir Matano juga dijadikan obyek wisata seperti pantai, lengkap dengan dermaganya.
PT Vale bersama masyarakat setempat mendirikan koperasi untuk mendukung penyediaan fasilitas wisata. Salah satunya, penyewaan perahu rafting maupun kayak. Bersama masyarakat, PT Vale juga aktif melakukan kegiatan bersih danau, termasuk pelibatan komunitas penyelam untuk membantu mengangkut sampah yang terjebak di dalam danau.
Salah satu cara PT Vale menjaga kondisi air danau yakni dengan melakukan pengelolaan air limpasan tambang sesuai standar yang berlaku agar kualitas effluent selalu di bawah baku mutu yang dipersyaratkan. Dengan begitu, air limpasan tambang yang keluar kembali ke danau sudah dalam keadaan jernih atau kualitas airnya masih sangat baik.
Manager Mine Infrastructure PT Vale Indonesia, Hasliana Alimuddin mengatakan, saat ini ada unit pengolahan air limpasan tambang Vale berupa 122 kolam sedimen atau kolam pengendapan (pond) yang tersebar di area Sorowako dan Petea serta satu unit treatment terintegrasi bernama lamella gravity settler (LGS) dengan kapasitas total seluruh unit mencapai 16 juta meter kubik.
Teknologi LGS yang telah beroperasi sejak 2014 ini biasanya digunakan untuk pengolahan air minum, dan PT Vale menjadi yang pertama memanfaatkannya dalam industri pertambangan di Indonesia.

LGS merupakan unit treatment air limpasan tambang terintegrasi yang mampu mengelola Total Suspended Solid (TSS) dan Cr6+ atau chromium hexavalent sekaligus dengan luas area yang lebih kecil daripada unit konvensional lainnya.
Tidak hanya itu, Vale juga telah memiliki laboratorium air terakreditasi ISO 17025 untuk pengujian air limpasan tambang sesuai prosedur standar Indonesia (SNI) maupun American Public Health Assosiation (APHA).
“Kegiatan pemantauan kualitas air limpasan tambang dilakukan secara reguler untuk parameter TSS, Cr6+ dan parameter lainnya oleh operator yang kompeten. Pemantauan kualitas Danau Matano dan Mahalona secara berkala pun rutin dilakukan, di mana hasilnya masih jauh dibawah baku mutu standar alias kualitas air masih sangat baik,” kata Hasliana, Selasa 20 Desember 2022.
Tak hanya menjaga danau, Vale juga turut menjaga agar tidak terjadi kerusakan lingkungan. Olehnya, setelah melakukan penambangan melalui sistem penambangan terbuka, PT Vale berupaya untuk mengembalikan tanah ke kondisi semula atau rehabilitasi dan reklamasi lahan bekas aktivitas pertambangan.
Reklamasi ini merupakan bagian dari Rencana Pascatambang (RPT) sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2010 tentang reklamasi dan pascatambang.
Rehabilitasi dilakukan melalui pembentukan tanah dan penanaman pascatambang atau revegetasi. Restorasi permukaan tanah dilakukan berdasarkan standar kemiringan lereng, dimulai dengan pemetaan tanah, pembentukan tanah dengan bantuan alat berat dan pembentukan tanah lapisan atas.

Junior Rehabilitation Engineer PT Vale Indonesia, Nisma Yani turut pula menambahkan. Ia mengatakan, sejak 2006 hingga November 2022, total keseluruhan lahan yang telah direklamasi mencapai 3471 hektar di Blok Sorowako. Jika dipresentasikan lahan seluas 5428 hektare itu mencapai 63 persen dari total lahan konsesi yang telah dibuka seluas 5428 hektare.
“Setelah sekitar 16 tahun, saat ini hutan buatan atau area reklamasi tersebut sudah mirip dengan original forest atau hutan perawan. Biaya reklamasi ini sekitar Rp300 juta per hektare,” ujar Nisma Yani, Senin 19 Desember 2022.
Menurutnya, di lokasi reklamasi lahan bekas tambang yang kini dinamakan “Hutan Himalaya” ini telah ditanami sekitar 40 jenis pohon yang dibagi berdasarkan kelompok tanaman.
Discussion about this post