Oleh: Khaziyah Naflah
Bak jamur di musim penghujan, mungkin itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan parahnya kasus korupsi di negeri Pertiwi ini. Korupsi di negeri ini kian menggurita, bahkan solusi-solusi yang diberikan tak mampu mengatasi. Bagaimana mau teratasi, sedangkan para penegak hukum yang harusnya memberantas kasus tersebut justru ikut terjerat.
Sebagaimana dikutip BBCnewsIndonesia.com, 20/12/2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan seorang hakim yustisial sebagai tersangka ke-14 dalam dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. EW langsung ditahan lembaga antirasuah itu pada hari Senin (19/12).
Penangkapan tersangka kasus ini menunjukkan dugaan suap perkara ini sebagai tindakan menggurita di MA, yang disebut pengamat korupsi karena “penegak hukum memiliki kewenangan besar, dengan kontrol yang sangat kecil”. Sejatinya penangkapan EW hanya satu dari sekian banyaknya kasus korupsi yang menjerat para penegak hukum, masih banyak lagi para penegak hukum yang terjerat kasus korupsi.
Sungguh miris aparat penegak hukum justru terjerat kasus korupsi, padahal mereka adalah ujung tombak bagi rakyat untuk mengadili para tikus berdasi yang telah merampok uang negara. Lantas, kemana keadilan harus dicari?
Fakta semakin banyaknya aparat penegak hukum yang ikut terjerat kasus korupsi membuktikan jika sistem hukum di negeri ini telah rusak. Kondisi inipun diperparah dengan adanya peryataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan bahwa KPK tidak perlu terlalu sering melakukan operasi tangkap tangan (OTT) karena dianggap mencederai citra bangsa.
Bahkan Mantan Menko Polhukam itu juga meminta KPK memperbaiki kinerjanya. Ia tidak ingin komisi antirasuah lebih sering melakukan OTT dan berupaya toleran (tirto.id, 21/12/2022).
Inilah bobroknya sistem kapitalisme yang berdasar pada sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan), tak dipungkiri jika sistem ini telah mencetak para penanggung jawab kekuasaan hanya berprofit pada materi semata. Para pemimpin terlahir dengan kondisi minim takwa, alhasil dalam dirinya hanya terlintas bagaimana cara memperkaya diri dengan berbagai cara, walaupun dengan cara-cara yang diharamkan oleh Syariat.
Tak dipungkiri pula, realitas lainnya yang menyebabkan suburnya korupsi akibat sistem politik yang berbiaya mahal, dimana jamak diketahui untuk menjadi pemimpin suatu daerah harus rela merogoh kocek yang sangat dalam. Alhasil, saat telah menjadi pemimpin tak khayal para pejabat berupaya bagaimana cara untuk mengembalikan dana tersebut, ya salah satunya dengan jalan korupsi. Maka tak heran jika korupsi menjangkiti hampir seluruh pejabat negara.
Kemudian jamak diketahui pula jika sistem hukum yang diadopsi negeri ini terbilang sangat lemah, tidak maksimal, serta tebang pilih. Sistem sanksi terkenal dengan julukan “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”. Sistem sanksi akan seketika lemah dan berbelit jika dihadapkan oleh para kaum berduit ataupun para pemegang kekuasaan.
Hukuman bisa ditarik ulur dan dimainkan sesuka hati. Ditambah lagi sistem sanksi pun tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Alhasil, Ini bagai dua sisi mata uang bagi penguasa, di satu sisi berupaya untuk memberantas kejahatan termaksud korupsi, disisi lain penguasa sendiri yang justru mendukung tumbuh suburnya kasus kejahatan tersebut melalui mekanisme-mekanisme kebijakan yang terlaksana.
Inilah gambaran buruk sistem kapitalisme sekuler. Apapun yang dilakukan penguasa untuk memberantas korupsi dan kejahatan lainnya selama masih bernaung dalam sistem kapitalisme, maka tidak akan mampu menuai solusi, yang ada justru kejahatan kian merajalela sebagaimana fakta di lapangan berbicara.
Ngenes bukan, disaat sistem kapitalisme tidak mampu menyelesaikan kasus kriminal dan korupsi, maka disitulah menyadarkan kita bahwa negeri ini membutuhkan sebuah sistem yang mampu untuk menuntaskan kasus kejahatan termasuk korupsi secara komprehensif dan itu hanya ada dalam Islam. Islam terbukti selama 13 abad mampu untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada rakyatnya.
Islam mencetak para pemimpin yang amanah dalam setiap kepemimpinannya untuk meriayah urusan rakyat. Mereka menjadi pribadi yang takut akan azab Allah jika mereka melalaikan tanggung jawab kepemimpinan tersebut. Selain itu dengan adanya konsekuensi takwa yang menghujam dalam diri setiap individu rakyat kepada Allah membuat mereka menjauhi sifat-sifat yang buruk termasuk korupsi. Apalagi mereka yang telah diamanahi sebuah kepemimpinan.
Disisi lain, untuk mengontrol agar para pejabat tidak melakukan tindakan korupsi negara juga melakukan pencatatan harta bagi para pejabat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khathab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Ini dilakukan agar diketahui jika para pejabat tidak melakukan korupsi.
Islam juga terkenal sebagai sistem sanksi yang adil bagi penduduk negeri Daulah, baik muslim maupun non muslim, penerapan sistem sanksi tidak pernah pandang bulu, Rasulullah pernah bersabda “Wahai manusia sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah apabila seorang bangsawan mencuri, maka mereka membiarkan akan tetapi apabila seorang yang lemah mencuri maka mereka jalankan hukuman kepadanya. Demi Dzat yang Muhammad berada dalam genggaman Nya kalau seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri niscaya aku akan memotong tangannya” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).
Begitulah jawaban Rasulullah kepada kaum Quraysh yang dilewatkan kepada Usamah, orang yang dicintai Nabi, dengan maksud akan memperoleh pengampunan atas kasus pencurian yang dilakukan oleh seorang bangsawan dari Bani Makzum. Dari hadis di atas nampak jelas jika tidak ada perbedaan kasta terhadap kaya dan miskin, pejabat dan rakyat.
Dalam masalah korupsi maka negara akan menerapkan sistem sanksi ta’zir, dimana sanksi tersebut diserahkan kepada hakim, hukuman dilakukan mulai dari penyitaan harta kekayaan, dipublis di seluruh negeri akan kejahatannya, hingga dengan maksimal hukuman mati.
Dengan adanya sistem sanksi yang tegas maka para pelaku dan rakyat serta pejabat akan berpikir ulang untuk melakukan tindak kriminalitas, termasuk korupsi. Sistem sanksi Islam tersebut bukan hanya menjadi pencegah (zawajir) bagi pelaku kejahatan, namun dia juga sebagai penebus (jawabir) dosa terhadap apa yang dia lakukan.
Dengan adanya keimanan kepada Allah, sistem politik yang sehat, serta sistem sanksi yang tegas serta menjerakan, maka tindak kriminal dan bisa diberantas termaksud korupsi. Wallahu A’alam Bissawab.(***)
Penulis: Freelance Writer Domisili Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post