Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) tahun 2014, Joko Widodo (Jokowi) diberi surat tugas oleh PDI Perjuangan (PDIP) sebagai Calon Presiden, Jumat (14/3/2014), kurang dari tiga (3) bulan sebelum Pilpres, Rabu (9/7/2014).
Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) diusung oleh lima (5) partai politik (Parpol), yakni PDIP, Partai Nasdem (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Pasangan Prabowo Subianto (PS)-Hatta Rajasa (HR) didukung oleh enam (6) Parpol, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB).
Pasangan Jokowi-JK berhasil unggul 53,15% mengalahkan pasangan PS-HR 46,85%. Pada Pilpres 2014 ini, rakyat mendukung Jokowi secara optimal karena dianggap mewakili rakyat “biasa” secara luas. Jokowi mengusung tagline: “Jokowi Adalah Kita” secara optimal dapat digunakan menggerakkan partisipasi politik rakyat biasa.
Sementara itu pada Pilpres 2019, Jokowi diumumkan sebagai Capres PDIP pada Jumat (23/2/2018), kurang dari empat belas (14) bulan sebelum Pilpres, Rabu (9/4/2019).
Jokowi berpasangan dengan KH. Ma’ruf Amin (MA) didukung oleh sembilan (9) Parpol, yakni PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, Hanura, PKPI, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Sedangkan Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno didukung oleh lima (5) Parpol, yakni Gerindra, PAN, PKS, Partai Demokrat (PD), Partai Berkarya (PB).
Pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin berhasil menang 55,50% mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 44,50%. Pada Pilpres 2019 tersebut, keterlibatan rakyat mendukung Jokowi berubah. Tidak ada lagi partisipasi rakyat yang secara spontan mengorganisir diri dan kelompoknya secara mandiri seperti Pilpres 2014. Kelompok elit politik, aktivis politik dan pengusaha yang mendominasi pergerakan dukungan.
Berdasarkan dinamika kedua Pilpres tersebut di atas, ternyata pergeseran peta dukungan Parpol, elit politik, pun aktivis politik tidak berdampak signifikan terhadap perolehan suara Jokowi. Ternyata kekuatan politik Jokowi itu ada pada rakyat, bukan pada elit politik, aktivis politik maupun pengusaha. Rakyat menjadi kekuatan utama yang murni, mandiri, dan bebas dari “vested interest” individu maupun kelompok.
Discussion about this post