Oleh: Rusdianto Samawa
“Mohon maaf kalau salah analisa. Semua ini kita serahkan keputusan kepada Allah SWT.”
Pada bulan lalu, sekitar tanggal 22 Juni 2023 malam. Saya mengirim pesan ke beberapa kolega bahwa akan terjadi migrasi dukungan PKB ke Anies Baswedan yang memimpin koalisi perubahan.
Sebagian besar kolega itu tidak percaya sama sekali. Analisa beberapa kolega, mungkin sebagian besar publik atau analis politik tidak mungkin ke Anies Baswedan. Bisa jadi Muhaimin Iskandar yang akrab disapa Cak Imin itu akan diperiksa KPK dan Kejagung soal dugaan korupsi durian.
Bagi saya, KPK dan Kejagung tak akan berani ekspose kasus tersebut. Selain, tak kuat bukti dan juga sudah lama bergulir. Bayangkan 3 kali pilpres atau 15 tahun kasus itu tak ada kabarnya. Namun, kasus itu, hanya muncul sebagai blasting booster kekuatan politik maupun kelompok diluar PKB yang ingin mengambil alih kepemimpinan Cak Imin.
Analisa itu, cukup pendek dan mengerti. Cak Imin dengan PKB-nya menentukan arah kemenangan Capres: Prabowo, Anies dan Ganjar. Kemana dukungan PKB berlabuh dan bersandar disitulah kekuatan kemenangan.
Tulisan ini, bukan membela PKB. Tetapi realitas politik kaum Nahdliyin menentukan kemenangan Capres selama 20 tahun terakhir. Sementara, kekuatan politik Nahdliyin ada pada PKB. Realistis. Faktanya begitu.
Pilpres 2004, tanpa PKB maka SBY-JK tak menang. Begitu juga periode kedua SBY-Boediono tanpa PKB, pasangan ini usang. Karena keberpihakan kekuatan politik Nahdliyin jelas. Walaupun sering diluar dugaan.
Begitu juga, berganti rezim politik pemerintahan ke Jokowi-JK, tanpa PKB tak ada koalisi tersebut. Walaupun partai pemegang koalisi ada pada PDIP. Pada periode kedua pun pasangan Jokowi-Ma’ruf Amien, tanpa PKB tak bisa menahan laju pertumbuhan isu agama, ras, suku dan golongan. Karena kekuatan politik NU menahan dan melawan isu rasial ini. Termasuk PDIP sendiri diuntungkan kehadiran PKB dalam koalisi periode kedua rezim Jokowi.
Namun, sebagian besar aktivis dan oposisi tidak melihat faktor PKB. Tetap sasaran empuk kritik dialamatkan kepada Presiden Jokowi. Nah, kekuatan oposisi dan aktivis sebagian besar lompatan dukungan ke Anies Baswedan sebagai antithesa terhadap rezim Jokowi.
Kenapa demikian, Anies Baswedan sendiri sebagai tokoh utama kalangan mahasiswa dalam gerakan reformasi. Sementara Prabowo Subianto alumni kombatan rezim orde baru yang ikut menikmatinya. Walaupun ditengah jalan mundur sebagai tentara karena inginkan reformasi berjalan baik.
Sementara, Ganjar Pranowo tak terlihat jelas dalam peta gerakan reformasi 1998. Walaupun banyak yang mengakuinya terlibat dalam gerakan reformasi. Tapi tak terdengar santer seperti Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar, Budiman Sujatmiko, Faezal Assegaf, Fahri Hamzah, Andi Arief dan lainnya. Itulah yang membuat banyak aktivis pindah dukungan ke Anies Baswedan dalam pilpres 2024 mendatang sebagai antitesa rezim Jokowi.
Kembali ke analisa, pada saat simulasi capres-cawapres muncul: pertama, Prabowo-Muhaimin, Ganjar-Sandiaga, Anies-AHY. Maka yang keluar sebagai pemenang adalah Prabowo-Muhaimin. Tetapi, Prabowo enggan meminang Cak Imin, kena mental rezim. Termasuk kekecewaan PKB merubah nama koalisi dari KKIR menjadi Indonesia Maju.
Kedua, Prabowo-Gibran (Erick Tohir), Ganjar-Muhaimin (Sandiaga), Anies-Gatot Nurmantyo (AHY). Maka pemenangnya: Anies-Gatot (AHY).
Discussion about this post