Oleh: Fitri Suryani, S.Pd
Judi online atau judol makin hari kian mengkhawatirkan saja. Bagaimana tidak, pemainnya bukan hanya dari kalangan dewasa, tapi juga anak-anak.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan bahwa transaksi judi online atau judol telah dilakukan oleh anak-anak berusia 10 tahun di Indonesia. Ini terungkap dalam laporan Program Mentoring Berbasis Risiko (Promensisko).
Promensisko bertujuan memperkuat kapasitas pemangku kepentingan dalam memahami pola, mendeteksi dini, dan merespons secara efektif tindak pidana pencucian uang berbasis digital.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan data kuartal I-2025, yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain berusia 10-16 tahun lebih dari Rp 2,2 miliar. Usia 17-19 tahun mencapai Rp47,9 miliar dan deposit yang tertinggi usia antara 31-40 tahun mencapai Rp2,5 triliun (Cnbcindonesia, 11-05-2025).
Persoalan judi online makin hari kian merajalela, pemberantasannya telah dilakukan, namun pertumbuhannya tidak kalah pesat dengan pemberantasannya. Masalah judi online jelas menimbulkan berbagai dampak seperti kecanduan, gangguan kesehatan mental, penurunan taraf ekonomi hingga memicu kriminalitas.
Begitu juga dengan fenomena judi online yang menyasar anak-anak yang bukan suatu kebetulan. Sistem saat ini (kapitalisme) menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, meski harus merusak generasi muda. Apalagi industri ini memanfaatkan celah psikologis dan visual untuk menarik anak-anak.
Orang tua pun sesungguhnya memiliki peran sentral dalam membentengi anak dari kerusakan moral, termasuk dalam jebakan judi online. Karena sesungguhya pendidikan utama dan pertama adalah bersumber dari lingkungan keluarga. Sayangnya ini tak mudah, jika orang tua sendiri terbebani ekonomi, sehingga tak sempat mendidik anak-anaknya.
Mirisnya lagi, judi online sulit diberantas karena adanya penjagaan website judol tersebut. Hal ini sebagaimana dalam dakwaan Zulkarnaen Apriliantony, Adhi Kismanto, Alwin Jabarti Kiemas, dan Muhrijan alias Agus terungkap adanya grup WhatsApp yang dibuat untuk memperlancar komunikasi penjagaan website judi online di Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kemenkominfo. Grup Whatsapp tersebut dinamai ‘Anak Medan FC’.
Berdasarkan berkas dakwaan Zulkarnaen Cs, anggota grup itu berhasil mengumpulkan 750 website judi online untuk diserahkan ke Muhrijan. Dalam dakwaan, Muhrijan disebut sebagai orang yang mengaku sebagai utusan salah satu direktur di Kemenkominfo, kini Komdigi. Website itu hendak dilakukan pembukaan blokir dan dijaga dari adanya pemblokiran (Tempo, 20-05-2025). Miris!
Selain itu, telah menjadi rahasia umum tidak sedikit aparat dan pejabat yang terlibat makin menguatkan hal ini. Ditambah sanksi yang ada belum mampu memberi efek jera, sehingga hal ini makin menumbuhsuburkan masalah judi online.
Di sisi lain, dalam sistem saat ini sektor apa saja yang mampu menghasilkan keuntungan, termasuk judi online, berpotensi mendapat celah untuk berkembang. Ditambah lagi minimnya kontrol demi “kebebasan pasar” yang akhirnya membuat praktik perjudian semakin meluas, difaslitasi oleh platform digital, dan iklan yang masif.
Padahal kasus judi online perlu untuk segera diberantas. Karena hal itu sangat jelas melanggar hukum agama dan membahayakan kehidupan masyarakat. Tapi beginilah gambaran negara yang mengemban kapitalisme. Selama hal tersebut mendatangkan cuan, maka judi online sangat sulit diberantas hingga ke akarnya.
Discussion about this post