Oleh: Ilmu Mumtahanah
Perundungan anak kembali menjadi sorotan setelah seorang siswa SMP di Bandung mengalami kekerasan fisik dan psikis oleh teman-teman sebayanya. Ironisnya, kekerasan ini dipicu oleh penolakan korban untuk menenggak tuak—minuman keras yang jelas berbahaya dan haram. Korban dipukuli, diceburkan ke sumur, dan mengalami trauma berat (CNNIndonesia.com, 26-6-2025).
Kejadian ini mencerminkan betapa perundungan di kalangan pelajar telah sampai pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan.
Kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus serupa yang terjadi setiap tahun. Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa perundungan terus meningkat dan menjadi bentuk kekerasan paling sering dialami anak-anak. Baik itu di sekolah, lingkungan sosial, maupun dunia maya, anak-anak menjadi korban kekerasan verbal, psikologis, hingga fisik.
Perundungan anak adalah fenomena gunung es. Apa yang terlihat dan tercatat hanyalah sebagian kecil dari kasus nyata yang terjadi. Banyak kasus tidak dilaporkan karena takut, malu, atau ketidakpercayaan terhadap mekanisme penyelesaian yang tersedia.
Ketika perundungan sudah melibatkan pemukulan, pemaksaan minuman keras, dan penyiksaan mental, maka ini bukan lagi sekadar “anak-anak nakal”—melainkan tanda darurat sosial yang harus ditangani secara sistemik.
Indonesia memiliki berbagai regulasi untuk perlindungan anak, seperti UU No. 35 Tahun 2014. Namun sayangnya, implementasi hukum ini masih lemah. Penegakan hukum cenderung lambat, sanksi tidak menimbulkan efek jera, dan korban seringkali tidak mendapat pemulihan yang layak.
Sistem pendidikan nasional pun tidak mampu membentuk karakter siswa yang kokoh. Sekolah menjadi tempat rawan konflik, guru kekurangan bekal untuk menangani kekerasan, dan kurikulum lebih menitikberatkan pada capaian akademik ketimbang pembentukan akhlak dan kepribadian.
Anak-anak tidak cukup mendapat pembinaan rohani, nilai moral, atau arahan yang mendorong empati dan tanggung jawab. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang menormalisasi kekerasan dan menyepelekan etika. Sistem hukum juga menganggap anak yang belum cukup usia belum bertanggung jawab, meski tindakannya sangat merugikan pihak lain.
Semua ini tidak lepas dari akar masalah yang lebih mendalam: sistem kehidupan sekuler-kapitalistik. Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dari pendidikan dan hukum.
Akibatnya, nilai-nilai agama tidak menjadi dasar dalam pembentukan karakter anak-anak. Mereka tidak diajarkan untuk bertanggung jawab di hadapan Allah, tidak memahami halal-haram, dan tumbuh dengan standar benar-salah berdasarkan kesenangan semata.
Kapitalisme mendorong kehidupan yang materialistik dan kompetitif. Anak-anak diajarkan untuk mengejar prestasi, popularitas, dan status sosial sejak dini. Media menampilkan kekerasan dan gaya hidup bebas, tanpa kontrol moral. Semua ini mempercepat kerusakan akhlak dan melemahkan kontrol diri pada anak-anak.
Berbeda dengan Islam, ia memiliki sistem kehidupan yang mampu mencegah dan menyelesaikan perundungan dari akarnya. Dalam Islam, menyakiti orang lain adalah dosa besar, baik dengan tangan maupun lisan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Discussion about this post