Oleh: Musafir AR.,S.H.,M.H.,C.P.L
Belakangan ini ruang publik kembali diramaikan dengan pernyataan-pernyataan kontroversial dari Saudara Umar Bonte, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia asal Sulawesi Tenggara. Salah satu isu yang ramai dibahas adalah terkait pembangunan jembatan penghubung antara Pulau Muna dan Pulau Buton, serta rencana jembatan Muna-Konawe Selatan.
Alih-alih mendorong semangat kerja bersama dan kesinambungan pembangunan, Saudara Umar justru sibuk mempersoalkan siapa yang berhak mendapat pengakuan atas program tersebut.
Dalam narasinya, Umar Bonte menyebut bahwa pembangunan jembatan penghubung Muna-Buton adalah program dari gubernur sebelumnya, seolah-olah karena bukan berasal dari pemerintahan saat ini maka tidak layak untuk diapresiasi atau dilanjutkan.
Ini adalah bentuk berpikir yang sesat dan dangkal dari seorang senator yang semestinya memiliki pemahaman utuh tentang prinsip-prinsip pemerintahan.
Kita semua tahu bahwa pembangunan adalah proses jangka panjang yang menuntut kesinambungan lintas rezim. Tidak semua rencana dapat dirampungkan dalam satu periode pemerintahan, apalagi proyek strategis seperti pembangunan jembatan penghubung antarwilayah yang melibatkan aspek teknis, pembiayaan, perencanaan lintas kementerian, serta penganggaran multiyears.
Maka adalah keliru dan menyesatkan jika seorang anggota DPD RI menilai program tersebut hanya dari siapa yang menggagas pertama kali, lalu menjadikannya bahan polemik di ruang publik.
Apakah kita akan terus membiarkan model berpikir seperti ini beredar di kalangan pejabat publik? Yang mengecilkan arti kesinambungan dan lebih sibuk mengais simpati dengan membuat konten populis di media sosial?
Tugas Senator Bukanlah Menjadi “Influencer” Politik
Sebagai anggota DPD RI, Umar Bonte diberi amanah oleh konstitusi untuk mewakili aspirasi daerah di tingkat nasional, menjadi jembatan antara pusat dan daerah, serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat daerah.
Tugas ini jelas, tegas, dan strategis. Bukan sekadar membangun citra personal lewat media sosial, apalagi dengan narasi yang menyudutkan dan melemahkan kerja-kerja institusi pemerintahan lainnya.
Jika kita menelusuri jejak digital Saudara Umar, lebih banyak kita temukan retorika populis, komentar-komentar di luar konteks, dan upaya personalisasi isu, ketimbang kerja-kerja konkret sebagai senator.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan serius di tengah masyarakat: di mana sebenarnya peran DPD RI yang semestinya memperjuangkan kebutuhan strategis Sulawesi Tenggara di tingkat nasional?
Ketika jembatan penghubung Muna-Buton dan Muna-Konsel menjadi perbincangan nasional, seharusnya seorang senator fokus mengawal kebutuhan anggaran, memperjuangkan integrasi program di kementerian terkait, serta mengajak para stakeholder bersatu padu menyukseskan pembangunan.
Discussion about this post