Oleh: Fahmi Rahmatan Akbar
Transformasi pendidikan nasional kini memasuki babak baru. Setelah menghapus Ujian Nasional (UN) dan meluncurkan Asesmen Nasional (AN), pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) meluncurkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai bagian dari sistem evaluasi pembelajaran berstandar nasional.
Instrumen ini tidak hanya menggantikan model evaluasi sebelumnya, tetapi juga menjadi langkah strategis dalam mewujudkan pendidikan yang adil, objektif dan berbasis data.
Kebijakan ini ditegaskan melalui Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025 yang mulai berlaku sejak 3 Juni 2025. TKA akan diterapkan mulai November 2025 untuk siswa kelas XII SMA/MA/SMK, serta menyusul pada Maret 2026 untuk siswa SD dan SMP (cnnindonesia.com).
Pelaksanaannya dilakukan secara daring dan tidak menjadi syarat kelulusan, melainkan alat diagnostik akademik sukarela yang digunakan untuk menilai capaian siswa dan mendukung seleksi jalur prestasi.
TKA: Instrumen Evaluasi Diagnostik yang Inklusif
Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa TKA bertujuan untuk memperoleh informasi capaian akademik murid, memberikan acuan pengendalian mutu pendidikan, serta mendorong pengakuan hasil belajar pendidikan nonformal dan informal (Permendikdasmen No. 9 Tahun 2025, Pasal 3).
Dengan demikian, TKA mencakup peserta dari sekolah formal, program Paket A/B/C, hingga sekolah rumah (homeschooling), menjadikannya sistem evaluasi paling inklusif yang pernah diterapkan (setjen.kemendikdasmen.go.id).
Soal TKA disusun dengan berorientasi pada kompetensi esensial dan berpola HOTS (Higher Order Thinking Skills), bukan hafalan. Untuk SD dan SMP, mata uji meliputi Bahasa Indonesia dan Matematika, sementara SMA ditambah Bahasa Inggris dan mata pelajaran pilihan (jdih.kemendikdasmen.go.id; pusmendik.kemdikbud.go.id).
Hasil TKA berupa nilai dan kategori capaian akan tertuang dalam sertifikat resmi dari Kementerian, yang dapat digunakan sebagai bahan seleksi PPDB, jalur prestasi ke perguruan tinggi, dan kesetaraan antar jalur pendidikan (Permendikdasmen Pasal 13).
Ambiguitas Status, Kesenjangan Teknis dan Literasi Publik
Namun, meskipun dimaksudkan sebagai alat ukur pembelajaran, TKA masih menyimpan sejumlah tantangan kritis yang perlu segera diantisipasi.
1. “Sukarela” tapi Jadi Penentu Seleksi
TKA disebut sebagai asesmen sukarela, tetapi hasilnya dijadikan pertimbangan resmi dalam PPDB jalur prestasi dan seleksi masuk perguruan tinggi (melintas.id). Ini memunculkan ambiguitas. Siswa yang tidak mengikuti TKA bisa saja kehilangan peluang dalam jalur akademik strategis, sehingga pada praktiknya, TKA menjadi “wajib secara sosial”.
Jika tidak segera diluruskan, istilah “tidak wajib” bisa menjadi jebakan bagi sekolah, siswa, dan orang tua, yang merasa terpaksa mengikutinya agar tidak tertinggal (gurumerangkum.com).
2. Ketimpangan Sarana dan Kesiapan Digital
Menurut regulasi (Pasal 7), pelaksanaan TKA wajib diselenggarakan oleh sekolah yang memiliki komputer, listrik, dan koneksi internet stabil. Bagi sekolah yang belum memenuhi syarat, harus “menginduk” pada sekolah pelaksana.
Di daerah 3T, ini menjadi beban logistik dan operasional besar. Ketimpangan infrastruktur bisa menjadikan TKA sebagai pemicu ketidakadilan baru jika tidak diimbangi dengan afirmasi pendanaan (kompas.com).
3. Minimnya Sosialisasi dan Literasi Publik
Discussion about this post