Oleh: Marzuki Yudi
Sistem pendidikan Indonesia tengah memasuki fase baru dalam mengukur capaian akademik siswa. Salah satu instrumen yang kini mendapat perhatian luas adalah Tes Kemampuan Akademik (TKA).
Secara yuridis, keberadaan sistem evaluasi ini memiliki landasan yang kuat dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional yang menempatkan mutu, keadilan, dan transparansi sebagai prioritas.
Secara historis, bangsa ini pernah bergantung pada Ujian Nasional sebagai tolok ukur tunggal, namun kebijakan tersebut meninggalkan banyak catatan kritis, baik dari segi beban psikologis maupun ketidakmampuan menangkap variasi kualitas antar-daerah.
Secara filosofis dan sosiologis, TKA dihadirkan bukan sekadar sebagai instrumen seleksi, melainkan sebagai upaya kolektif membangun sistem pendidikan yang lebih kredibel, partisipatif, dan berkeadilan.
TKA bukan sekadar alat ukur, melainkan bagian dari upaya untuk membangun kepercayaan terhadap sistem evaluasi capaian belajar yang selama ini terasa timpang antar-sekolah.
Selama ini, seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, baik antarsekolah maupun ke perguruan tinggi, umumnya mengandalkan nilai rapor sekolah. Padahal, nilai rapor kerap kali tidak dapat dibandingkan secara adil antar-satuan pendidikan.
Tidak adanya penilaian individu yang terstandar secara nasional membuat nilai 90 di satu sekolah bisa sangat berbeda maknanya dengan nilai serupa di sekolah lain. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi institusi pendidikan lanjutan, termasuk perguruan tinggi, dalam melakukan pemeringkatan dan seleksi secara objektif.
TKA hadir menjawab tantangan ini. Dengan instrumen tes yang dikembangkan secara nasional, hasil TKA memberikan gambaran yang lebih terstandar tentang kemampuan akademik siswa. Ia menjadi instrumen pengendali mutu yang mendorong perbaikan berkelanjutan di tingkat satuan pendidikan.
Lebih jauh, TKA juga memberikan nilai tambah dalam konteks transparansi. Data Kementerian Pendidikan menyebutkan bahwa disparitas nilai rapor antar-sekolah bisa mencapai deviasi 15–20 poin pada skala 100 (Kemendikbud, 2024).
Dengan kehadiran TKA, disparitas ini dapat ditekan karena instrumen penilaiannya sama, berlaku secara nasional, dan dapat dibandingkan lintas daerah. Artinya, seorang siswa di Papua dan seorang siswa di Jawa memiliki kesempatan yang sama untuk menunjukkan kompetensinya tanpa tereduksi oleh ketidakseragaman standar sekolah.
Kolaborasi Lintas Sektor
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh pemangku kepentingan. Keberlanjutan dan partisipasi stakeholder dalam mewujudkan pendidikan bermutu untuk semua menjadi faktor penentu dalam keberhasilan TKA.
Aspek positif lain dari kebijakan ini adalah pendekatan kolaboratifnya. Pada tingkat SMA/SMK, seluruh soal akan disusun oleh kementerian. Namun, untuk jenjang SD dan SMP, pemerintah pusat akan berbagi peran dengan pemerintah daerah dalam pengembangan soal.
Kolaborasi ini tidak semata soal teknis pembuatan soal ujian, melainkan juga upaya meningkatkan kapasitas daerah dalam menyelenggarakan evaluasi pendidikan yang bermutu. Dalam era desentralisasi, peran pusat yang terlalu dominan sering kali menimbulkan resistensi di daerah.
Dengan melibatkan pemerintah daerah, diharapkan akan tumbuh rasa memiliki yang lebih kuat terhadap kebijakan ini. Pada saat yang sama, keterlibatan daerah juga memperkaya perspektif pusat terhadap konteks lokal sehingga instrumen TKA yang dihasilkan lebih inklusif dan kontekstual.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat partisipasi sekolah di Indonesia masih bervariasi: angka partisipasi murni (APM) tingkat SMA/SMK mencapai 60,2% pada 2024, sementara di beberapa daerah terpencil masih di bawah 50% (BPS, 2024).
Dengan adanya TKA yang inklusif, peluang kesenjangan dapat ditekan melalui penyediaan standar evaluasi yang sama, sekaligus mendorong peningkatan kualitas di daerah dengan partisipasi rendah.
Lebih dari itu, TKA akan menjadi referensi tambahan yang kredibel dalam proses seleksi berbasis prestasi akademik, baik untuk Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) maupun seleksi masuk perguruan tinggi. Proses seleksi diharapkan menjadi lebih adil dan akuntabel tanpa bergantung sepenuhnya pada nilai rapor yang tidak seragam.
Discussion about this post