PENASULTRAID, KONAWE – Angin sore di Desa Nekudu, Kecamatan Asinua, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) berhembus pelan, membawa aroma tanah yang lembab setelah hujan semalam. Jalanan berlumpur yang sehari-hari menjadi saksi perjuangan warga kini mulai berubah wajah.
Di antara tumpukan koral yang diturunkan satu per satu dari truk, tampak para prajurit TNI dengan wajah basah peluh, menyapa dengan senyum tulus yang tak pernah pudar.
Mereka bukan datang dengan janji manis atau kata-kata indah. Mereka datang dengan kerja, dengan tangan yang mengangkat batu, dengan punggung yang menahan beban kayu, dengan semangat yang menyatu bersama warga. Itulah cinta tanpa kata cinta yang hanya bisa dipahami lewat tindakan nyata.
Pada 23 Juni 2025 menjadi penanda awal dari sebuah kisah yang akan lama dikenang. Satgas TMMD Kodim 1417/Kendari dipimpin oleh Kolonel Inf Herry Idrianto hadir di tengah dahaga pembangunan warga. Kehadiran mereka bagai jawaban atas doa-doa panjang yang terucap lirih di malam hari.

Jembatan Kehidupan
Sebuah anak sungai di Desa Nekudu memisahkan jalan utama. Di atasnya, berdiri jembatan kayu tua yang sudah keropos. Papan-papan berlubang, sebagian terangkat, sebagian bahkan hampir patah. Setiap kali ada motor melintas, kayu itu berderit keras, menimbulkan ketakutan bagi siapa pun yang mendengar.
“Setiap kali anak saya lewat sini untuk pergi sekolah, hati saya bergetar. Takut sekali kalau jembatan ini tiba-tiba patah,” ungkap Ibu Rani, seorang warga, matanya menerawang ke arah jembatan yang ia sebut sebagai “penentu hidup-mati.”
Bagi warga, jembatan bukan sekadar penghubung jalan. Ia adalah urat nadi kehidupan: tempat anak-anak sekolah menyeberang, petani membawa hasil panen, ibu-ibu menuju pasar. Ketika jembatan itu rapuh, seakan hidup mereka pun ikut rapuh.
Satgas TMMD tidak hanya memperbaiki satu jembatan. Mereka memperbaiki lima titik jembatan sekaligus, memastikan setiap jalur yang menghubungkan desa-desa di Asinua aman dilalui.
“Bagi kami, jembatan ini bukan hanya kayu dan paku. Ini adalah penghubung mimpi dan harapan warga,” kata Junaidi, seorang petani, yang turut membantu menata kayu baru di jembatan.

Tiga Kilometer Jalan Harapan
Selain jembatan, jalan desa sepanjang 3.000 meter menjadi sorotan utama. Kondisinya memprihatinkan: hanya berupa tanah merah yang berubah jadi lumpur licin kala hujan. Tak terhitung berapa kali motor terjatuh, atau berapa banyak warga terpaksa memikul hasil kebun karena kendaraan tak bisa lewat.
Kini, pemandangan berbeda tersaji. Dump truck datang silih berganti, menurunkan tumpukan koral. Prajurit TNI bersama warga menebarkan batu-batu itu, menatanya hingga jalan berubah bentuk.
“Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagi kami selain melihat anak-anak bisa berangkat ke sekolah tanpa harus jatuh berkali-kali di jalan berlumpur,” ujar La Ode Amir, tokoh masyarakat setempat, sembari mengusap keringat yang bercampur dengan debu jalan.
Dansatgas TMMD, Kolonel Inf Herry Idrianto pun menegaskan bahwa pembangunan jalan bukan sekadar urusan teknis, tetapi soal membuka ruang harapan baru bagi masyarakat.
“Jalan ini adalah pintu gerbang ekonomi dan pendidikan. Ketika akses terbuka, maka peluang hidup warga juga terbuka. Inilah alasan kami bekerja tanpa kenal lelah bersama rakyat,” ujarnya dengan nada penuh keyakinan.

Air, Sanitasi, dan Kehidupan Baru
Tak berhenti pada jalan dan jembatan, TMMD juga menyentuh kebutuhan paling dasar: air bersih dan sanitasi.
Delapan titik MCK (Mandi, Cuci, Kakus) dibangun. Dengan begitu, warga tak lagi harus buang air di kebun atau sungai yang penuh risiko kesehatan.
“Sanitasi buruk adalah pintu masuk penyakit. Kami ingin warga sehat, karena kesehatan adalah modal utama membangun masa depan,” jelas Dan SSK Kapten Inf Selfinus Sembiring.
Lebih dari itu, lima titik sumur bor digali. Dari pipa-pipa yang tersambung ke bak penampungan, air jernih mengalir deras. Di bawah guyuran itu, anak-anak desa berlarian, tertawa riang sambil membiarkan pakaian mereka basah kuyup.
Suara tawa mereka berpadu dengan cipratan air, menghadirkan pemandangan yang tak pernah mereka nikmati sebelumnya: kebebasan menikmati air tanpa rasa takut kehabisan. Di wajah-wajah kecil itu, air bukan hanya kebutuhan hidup—ia adalah sumber kebahagiaan baru.

Gotong Royong yang Menyatukan
Di Desa Nekudu, prajurit TNI tidak bekerja sendiri. Warga ikut turun tangan: ada yang membawa kayu, ada yang menata batu, ada pula yang sekadar menyediakan air minum bagi prajurit.
Discussion about this post