Oleh: Ruben Cornelius Siagian
Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran memperlihatkan dinamika politik yang paradoksal, bahwa di satu sisi mengklaim melanjutkan agenda pembangunan Presiden Jokowi, tetapi di sisi lain justru melakukan revisi strategis atas sejumlah kebijakan utama.
Narasi “keberlanjutan pembangunan” ternyata bukan kesinambungan ideologis, melainkan reorientasi sumber legitimasi kekuasaan. Kebijakan seperti pembatalan kenaikan PPN 12 persen, pemangkasan drastis anggaran Ibu Kota Nusantara (IKN) dari Rp43,4 triliun menjadi Rp13,5 triliun, dan revisi sistem zonasi pendidikan menjadi bukti bahwa arah pemerintahan kini tengah bergeser dari teknokrasi pembangunan menuju populisme korektif.
Politik Revisi dan Pergeseran Hegemonik
Menggunakan kerangka Antonio Gramsci, perubahan arah ini bisa dibaca sebagai pergeseran hegemonik. Prabowo tidak sedang memutus hubungan dengan Jokowi, melainkan membangun blok sosial baru, yaitu kelas menengah bawah, aparat militer, dan birokrasi lokal yang menjadi basis hegemoninya sendiri.
Rezim baru mempertahankan bahasa “pemerataan” dan “keadilan sosial”, tetapi menanamkan makna baru, yaitu kesejahteraan yang dikawal oleh ketegasan negara.
Hal ini terlihat dari pembatalan kenaikan PPN pada awal 2025. Secara ekonomi, langkah ini tidak memperbaiki basis pajak, tetapi secara politik, ia menjadi gesture populis yang menandai “pemerintah mendengar suara rakyat”.
Dalam istilah Gramsci, ini adalah strategi consent building, yaitu upaya mendapatkan penerimaan publik tanpa mengubah struktur ekonomi yang mendasarinya.
Kebijakan revisi ini memperlihatkan fungsi ganda negara, bahwa di satu sisi merespons tekanan sosial akibat ketimpangan pasca-pandemi, di sisi lain meneguhkan kemandirian simbolik dari teknokrasi Jokowi. Ia adalah politik citra yang berperan sebagai medium konsolidasi simbolik kekuasaan, bukan reformasi sistemik fiskal.
Populisme Sosial vs Rasionalitas Fiskal
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi ikon utama pemerintahan ini. Dalam teori populisme sebagaimana yang dijelaskan Laclau, E. (2005) dalam tulisannya yang berjudul Populism: What’s in a Name?, kebijakan semacam ini berfungsi membentuk rantai ekuivalensi antara rakyat kecil, kesejahteraan, dan figur pemimpin. Negara hadir bukan sekadar sebagai pengatur ekonomi, tetapi sebagai penyelamat moral rakyat.
Namun, secara fiskal, kebijakan ini berbenturan dengan rasionalitas ekonomi yang diwariskan oleh Sri Mulyani, yang juga merupakan simbol technocracy era Jokowi. Ketegangan ini tampak dalam Postur APBN 2025, bahwa di tengah pemangkasan anggaran IKN dan pembatalan kenaikan PPN, pemerintah tetap mempertahankan belanja sosial besar untuk MBG dan Bansos.
Masalah utamanya bukan pada niat sosial, melainkan cara negara menggunakan populisme sebagai legitimasi redistribusi semu. Studi Kawamura, K. (2019) menunjukkan bahwa belanja sosial Indonesia kerap tidak menurunkan ketimpangan karena lemahnya targeting dan dominasi distribusi politik di tingkat lokal.
Dalam perspektif Pierre Bourdieu, kebijakan semacam ini meningkatkan symbolic capital, bahwa rakyat merasa diperhatikan, tetapi struktur ketimpangan ekonomi tidak berubah. Ketergantungan terhadap negara bahkan makin dalam.
Antara Efisiensi dan Otoritarianisme Baru
Jika era Jokowi membuka ruang bagi militer dalam birokrasi sipil, era Prabowo menormalkannya. TNI kini terlibat dalam pengawasan distribusi pangan, pengamanan proyek strategis daerah, hingga program kedaulatan pangan.
Instruksi Prabowo pada Juli 2025 agar TNI aktif dalam program Food Estate di Kalimantan Tengah dan pembangunan perbatasan memperlihatkan militerisasi ruang sipil bukan lagi penyimpangan, tetapi new normal.
Dalam studi Tapscott, R. (2020) tentang authoritarian managerialism, praktik ini disebut sebagai bentuk baru otoritarianisme yang beroperasi lewat retorika efisiensi, profesionalisme, dan ketertiban.
Bahaya utamanya ialah pergeseran akuntabilitas publik, yaitu dari mekanisme demokratis ke mekanisme komando. Keputusan publik dijustifikasi atas nama “stabilitas nasional”, bukan deliberasi.
Kecenderungan ini juga terlihat dari meningkatnya jabatan strategis di kementerian yang diisi eks perwira tinggi TNI, yaitu dari Kementerian Pertanian hingga BNPP. Dengan demikian, reformasi sektor keamanan yang digagas pasca-1998 mengalami involusi, bahwa militer kembali menjadi aktor pembangunan.
Discussion about this post