Kekuatan moral dalam jurnalisme bukan hanya diperlukan—tetapi mendesak. Di era post-truth, di mana persepsi mudah dimanipulasi dan algoritma mendikte arus informasi, hanya moral yang mampu menjadi jangkar nilai.
Moral yang hidup dalam hati jurnalis akan mencegah mereka menjadi alat propaganda dan menuntun mereka untuk tetap berpihak pada publik, bukan pada kekuasaan.
Kepatuhan pada Hukum: Pilar Penopang Kebebasan Pers
Ajakan moral Tetty juga tidak terlepas dari ajakan untuk mematuhi hukum, khususnya Undang-Undang Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Di sinilah moral dan hukum bertemu: moral menjadi kompas batin, hukum menjadi pagar batas. Tanpa moral, hukum bisa dimanipulasi. Tanpa hukum, moral kehilangan kekuatan implementasi.
Kepatuhan terhadap hukum pers bukanlah beban, tetapi bentuk penghormatan terhadap profesi dan publik. Dengan mematuhi hukum, jurnalis menjaga marwah kebebasan pers yang sehat dan bertanggung jawab. Dan dengan mengedepankan moral, jurnalis memperkuat legitimasi sosial mereka sebagai penjaga nurani bangsa.
Meneguhkan Martabat Profesi Jurnalistik Nasional
Apa yang disampaikan oleh Tetty Naibaho dari Samosir sesungguhnya adalah manifestasi dari kekuatan jurnalistik yang berpijak pada nurani. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap media, pernyataan ini memberi harapan bahwa jurnalisme Indonesia masih memiliki ruang untuk diselamatkan melalui kekuatan etika dan kepatuhan terhadap hukum.
Jurnalis sejatinya bukan hanya penyampai fakta, tetapi juga penjaga nilai. Ketika nilai moral dan kepatuhan hukum bersatu, di sanalah jurnalisme menjadi pilar peradaban. Maka, seruan moral dari Samosir ini layak digaungkan ke seluruh penjuru negeri, agar jurnalisme Indonesia kembali kuat, sehat, dan bermartabat.(***)
Penulis adalah anggota Litbang SMSI Pusat
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post