<strong>Oleh: Fefri Wahida</strong> Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak 2019-2021 membawa dampak yang sangat besar bagi pendidikan di Indonesia. Dampak tersebut diakibatkan proses pembelajaran yang berlangsung secara daring dalam waktu panjang yang menimbulkan beberapa masalah baik bagi siswa, guru, maupun orang tua. Dampak Covid-19 dalam pembelajaran yang dirasakan oleh siswa diantaranya terbatasnya fasilitas yang menunjang pembelajaran daring seperti belum meratanya jumlah siswa yang memiliki gadget, kurangnya akses jaringan internet (kuota), tidak aktifnya siswa selama proses pembelajaran serta kejenuhan yang membuat siswa tidak bersemangat dan malas dalam mengikuti pembelajaran daring. Selain itu siswa juga mengalami gangguan penglihatan karena terlalu lama berhadapan dengan layar gadgetnya. Masalah pembelajaran daring juga dirasakan oleh orang tua seperti harga pembelian kuota internet yang mahal, tidak mampu mendampingi anak secara penuh selama pembelajaran, orang tua kurang memahami materi, sehingga tidak bisa maksimal dalam mengajari anak. Di samping masalah yang dihadapi orang tua, guru juga menghadapi masalah diantaranya terbatasnya kemampuan guru dalam melakukan penilaian saat pembelajaran daring dan sulitnya memahamkan materi pembelajaran kepada siswa. Berbagai masalah yang dihadapi oleh siswa, guru, dan orang tua dianggap oleh sebagian orang akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya pandemi Covid-19 dan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan secara daring akan kembali bertatap muka disekolah. Awal tahun 2022 pemerintah mengeluarkan aturan baru yang membawa angin segar bagi para orang tua, guru, dan siswa yang menyatakan kegiatan belajar-mengajar kembali dilaksanakan secara tatap muka berdasarkan aturan pemerintah yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 01/KB/2022, Nomor 408/2022, Nomor HK.01.08/MENKES/1140/2022, Nomor 420-1026 Tahun 2022 tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19. Angin segar yang diharapkan oleh khalayak ramai ini ternyata tidak sepenuhnya terwujud, muncul masalah baru yang dihadapi oleh dunia pendidikan diantaranya semangat belajar siswa mengalami penurunan dan tingkatan pemahaman siswa jauh lebih rendah dari yang seharusnya, masalah ini disebut learning loss atau ketertinggalan. Untuk mengatasi masalah tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah meluncurkan kurikulum baru yang disebut dengan kurikulum merdeka. Kurikulum merdeka adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghadapi kendala dalam proses pembelajaran di satuan pendidikan yang memberikan dampak yang cukup signifikan akibat pandemi Covid-19. Implementasi kurikulum merdeka akan dilaksanakan oleh sekolah penggerak (SP) dan Sekolah Menengah Kejuruan Pusat Keunggulan (SMK-PK), sebagai salah satu pilihan pemulihan pembelajaran selama kurun waktu 2022-2024. Pada tahun 2024 akan menjadi tahun penentuan kebijakan kurikulum nasional berdasarkan evaluasi terhadap kurikulum merdeka. Bagi satuan pendidikan yang belum terdaftar sebagai SP/SMK-PK maka masih dapat menggunakan kurikulum 2013 (K-13) maupun kurikulum darurat dalam proses pelaksanaaan pembelajarannya. Kurikulum Merdeka memiliki karakteristik khusus diantaranya proses kegiatan pembelajaran berbasis projek untuk mengembangkan keahlian siswa dengan tetap mengutamakan karakter personal siswa seperti iman, takwa, gotong royong, global, kreatif, dan kritis. Selain itu kurikulum ini menitikberatkan esensi dari tiap materi pembelajaran sehingga literasi dan numerasi pada penilaian kompetensi dapat terpenuhi. Guru sebagai tenaga pendidik-pun lebih fleksibel dalam memilih muatan lokal yang seusai dengan kemampuan siswanya. <strong>Ada beberapa perbedaan antara kurikulum merdeka dan kurikulum 2013, diantaranya yakni:</strong> 1. K-13 dirancang berdasarkan tujuan pendidikan nasional dan standar pendidikan nasional sedangkan kurikulum merdeka terdapat penambahan pengembangan profil pemuda pancasila. 2. Jam pelajaran (JP) pada K-13 diatur perminggu, sedangkan kurikulum merdeka diatur pertahun dengan alokasi waktu yang fleksibel, sehingga satuan pendidikan akan lebih mudah mengatur aktivitas pembelajaran misalnya pelajaran semester ganjil yang belum diajarkan dapat dilaksanakan di semester genap. 3. Pada K-13 ada 4 aspek penilaian yakni pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku sedangkan pada kurikulum merdeka aspek penilaiannya adalah projek penguatan profil pelajar pancasila, kegiatan intrakurikuler, dan ekstrakurikuler. 4. Penilaian dalam K-13 dilakukan persemester untuk setiap mata pelajaran sedangkan untuk kurikulum merdeka dilakukan per fase: • Fase A (umumnya setara dengan kelas I dan II SD) • Fase B (umumnya setara dengan kelas III dan IV SD) • Fase C (umumnya setara dengan kelas V dan VI SD) • Fase D (umumnya setara dengan kelas VII, VIII, dan IX SMP) • Fase E (umumnya setara dengan kelas X SMA) • Fase F (umumnya setara dengan kelas XI dan XII SMA).(<strong>***)</strong> <strong>Penulis: Guru Mata Pelajaran Matematika SMP Negeri 14 Buton Tengah</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://www.youtube.com/watch?v=oPZj98jH0KQ
Discussion about this post