Polemik garam dari tahun ke tahun kian menantang. Pemerintah belum memiliki komitmen untuk fokus pada peningkatan kapasitas produksi garam nasional. Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, adalah pertama, mengapa harus impor? pertanyaan ini tergantung sikap pejabat negara dan kadar nasionalisme apabila memenuhi kebutuhan rakyat dengan impor maka kebanggaan kita terhadap garam nasional dipastikan tidak ada. Pola importir garam ini merupakan sistem yang sudah lama digeluti oleh para kartel asing yang bekerjasama dengan pejabat sebagai penyalurnya.
Alasan paling mendasar untuk impor adalah cuaca ekstrem yang menyebabkan kelangkaan garam. Padahal tidak seperti itu yang terjadi. Bukan karena cuaca namun keterbatasan regulasi kontrol pemerintah yang tegas terhadap para kartel pebisnis garam yang selama periode 4 bulan ini mereka menampung dan menumpuknya.
Dengan mudahnya, menyalahkan alam karena matahari kurang sahabat dan hujan. Hal ini bukanlah suatu alasan yang tepat bagi pemerintah menyalahkan alam. Seharusnya pemerintah, perbaiki pola distribusi garam baik di tingkat petani maupun pasar. Pola distribusi ini yang sering membuat krisis garam karena pemerintah sendiri yang membuat kebijakan harus impor garam.
Kedua, Infrastruktur pengelolaan garam nasional belum memadai. Dari sejak 1942 hingga 2022 ini, kondisi petani garam sangat susah untuk memodernisasi alat produksi garam maupun tempat penampungan garam di petani tambak. Kalau pemerintah komitmen mengembangkan pengelolaan dan memusatkan kerja pelayanan untuk pembangunan infrastruktur garam, maka harus ada alokasi infrastruktur garam nasional yang memadai, misalnya pembangunan tempat penampungan garam, alat produksi, mesin penyedot air dan penimba air tawar.
Oleh karena itu, pemerintah fokus memperbaiki infrastruktur garam nasional, perpendek pola distribusi garam yang tidak lagi melibatkan kartel asing. Sehingga petani garam nasional bisa memiliki kemandirian yang kuat dan bertahan serta stok garam selalu tersedia.
Kegagalan garam pada 2016 hingga 2022 ini, menjadi kambing hitam yang dipersalahkan pemerintah. Kelangkaan garam di Indonesia tentu amat mencengangkan. Karena itu, pasti ada yang tidak beres atas kebijakan pengelolaan garam nasional.
Krisis garam perlu diantisipasi jauh sebelumnya. Karena perlu diketahui, garam menjadi komoditas strategis yang kegunaannya sangat luas. Karena itu, industri pengguna garam telah menyumbangkan devisa setara hampir 500 kali lipat dari impor garam setara pertumbuhannya bisa lima hingga tujuh persen per tahun.
Pengguna garam itu bukan hanya disektor rumah tangga. Tetapi, industri mulai dari petrokimia, kerta, aneka pangan, farmasi dan kosmetik, hingga pertambangan minyak. Industri Chlor Alkali Plant (CAP) saja membutuhkan hingga 2,4 juta ton per tahun. Total kebutuhan garam secara nasional mencapai 4,6 juta ton pada 2021. Tahun 2022 diprediksi 5juta ton lebuh.
Padahal menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021–2022, produksi garam nasional tidak sampai 1,5 juta ton. Karena itu, Indonesia masih harus mengimpor garam dengan nilai sekitar USD100 juta pada 2022. Dengan bahan baku tersebut industri pengguna garam mengekspor setara dengan USD 50,2 miliar tahun 2022.
Data kebutuhan diatas, alasan industri–industri menekan pemerintah untuk lakukan impor. Hal ini tergantung pemerintah? kalau memiliki nasional yang kuat. Industri ini akan menyerah pada regulasi pemerintah. Penggunaan garam dalam negeri bisa dimaksimalkan. Kalau pemerintah berkomitmen menaikkan kadar garam industri itu setidaknya harus punya kadar kemurnian 97 persen. Maka garam nasional bisa terserap maksimal.
Kebutuhan garam tahun 2022 relatif sama dengan kebutuhan 2021, 2020, 2019. Kebutuhan industri chlor alkali plant (CAP) sebesar 2,5 juta ton. Selain itu industri aneka pangan 650.000 ton, konsumsi 650.000 ton, dan industri lainnya 500.000 ton.
Selain impor, industri juga kembali menyerap garam produksi lokal. Targetnya pada tahun 2022 penyerapan garam lokal sebanyak 1,1 juta ton. Target serapan tahun 2021 sebanyak 1,2 juta ton realisasi sekitar 763.000 ton atau sekitar 63%. Pada tahun 2021 produksi garam lokal sebesar 850.000 ton.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) impor garam tahun 2021 periode Januari–November sebesar 2,35 juta ton. Angka tersebut naik sedikit dari periode yang sama tahun 2020 sebesar 2,29 juta ton sedangkan tahun 2022 naik kebutuhannya sekitar 3juta ton. Pemerintah harus bekerja keras, untuk peningkatan produksi, lahan–lahan petani garam harus disiapkan agar dapat menyediakan kebutuhan produksi.
Data per tahun 2022 masih diatas 30 ribu hektare, dari sebelumnya di kisaran 25 ribu hektare. Selain itu, juga harus perbaiki metode produksi sehingga garam yang bisa lebih banyak dan kadarnya diterima industri supaya tak ada lagi alasan impor.
Spirit nasional harus hadir ditengah petani garam, pemerintah jadikan garam sebagai sokoguru agar garam tidak lagi dilakukan secara tradisional pola produksinya. Pada tahun 2022 produksi garam metode tradisional bisa menghasilkan garam sekitar 50-60 ton per hektare per tahun. Kalau metode intensif, perkirakan produksi capai 100-150 ton per hektare per tahun. Kalau pemerintah usaha memakai sistem intensif, maka Indonesia bisa swasembada garam.
Tantangan teknologi memang menjadi nyata untuk merekayasa kadar garam. Pemerintah perlu galakan program industrialisasi secara intensif. Jangan jadikan garam nasional hanya sala satu kebutuhan pangan. Namun, garam harus diolah dan dikonversikan sehingga bisa menjadi alat diplomasi negara kepada dunia. Kalau bicara bahan baku seperti batubara, besi, alumunium termasuk barang langka. Tetapi, inovasi membuat sepeda motor listrik bisa dilakukan rekayasa. Mengapa garam tak bisa?.
Discussion about this post