Persoalan RUU KUHP menjadi menakutkan dan menyurutkan kemerdekaan pers apabila diputuskan. Hal ini harus menjadi perhatian kalangan pers.
Mencermati RUU KUHP, Ketua Umum SMSI Firdaus mengirim tim yang diketuai oleh Makali Kumar Ketua Bidang Hukum, Arbitrase, dan Legislasi SMSI Pusat untuk hadir dalam diskusi tersebut.
“SMSI tetap konsisten untuk menolak adanya pasal-pasal di RUU KUHP yang berpotensi merusak kemerdekaan pers, dan tidak sejalan dengan UU Pers No 40 tahun 1999 tentang Pers. SMSI akan berada di garda terdepan bersama Dewan Pers dan berbagai kalangan Pers dalam menyikapi rencana DPR dan pemerintah dalam melanjutkan pembahasan dan isu penetapan RUU KUHP tersebut,” ujar Makali Kumar.
Dewan Pers dan semua organisasi pers, lanjut Makali, konsisten, tegas dan jelas langkahnya dalam mengkritisi sedikitnya 14 pasal RUU KUHP yang mengancam kebebasan pers, yang disuarakan sejak 2018.
Dewan Pers saat itu menyatakan dalam RUU KUHP tersebut, banyak pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers dan berekspresi. Sedikitnya, ada 14 pasal yang menyimpang dari semangat reformasi dan mengancam proses demokratisasi di Indonesia.
“Jika DPR dan pemerintah kembali melanjutkan dan akan menetapkan RUU KUHP itu, SMSI akan ikut mengawal dan menolak adanya pasal-pasal yang akan mengancam kebebasan pers. Kalau masih ada pasal-pasal karet dalam RUU KUHP itu, maka kami akan menolaknya, karena akan mengancam kebebasan pers dan pekerja pers berisiko tinggi dipidanakan,” ucap Makali.
SMSI sendiri, sejak awal ikut mencermati, saat RUU KUHP mencuat, banyak rancangan aturan yang akan mengontrol ketat urusan menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum.
Banyak pasal-pasal Rancangan KUHP (RKUHP) yang disikapi dan dikritisi SMSI, diantaranya tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang ada dalam Pasal 219 RKUHP.
Dalam pasal itu, adanya ancaman pidana maksimal empat tahun enam bulan atau pidana denda bagi setiap orang yang menyiarkan tulisan atau gambar berisi penyerangan kehormatan Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian, pasal 240 RKUHP juga mengatur hukuman penjara maksimal tiga tahun dan denda kepada orang yang menghina pemerintah hingga mengakibatkan kerusuhan. Pasal-pasal itu dianggap seperti aturan zaman kolonial ditujukan untuk menindas rakyat dijajahnya.
Selanjutnya, tentang Penyiaran Berita Bohong (PBB), yang tercantum dalam Pasal 262 RKUHP. Saat itu, disebutkan, setiap orang yang menyebarluaskan berita bohong dapat dipenjara 4 tahun penjara.
Discussion about this post