Proyeksi Bursa Elektoral Partai
PDIP masih memuncaki kompetisi elektoral dengan raihan sebesar 22,1%, diikuti oleh Partai Gerindra (12,2%), Partai Nasdem (7,9%) dan Golkar (7,6%).
Pada umumnya partai-partai yang saat ini memiliki kursi di parlemen seperti PKB, Demokrat, PKS diperkirakan lolos ambang batas parlemen karena mendapat raihan suara di atas 4%. Namun PPP dan PAN berpotensi rawan tidak lolos ke parlemen. Sementara itu, peluang partai-partai baru dalam kompetisi elektoral tidak cukup menjanjikan.
Berikut ini adalah level elektoral partai dari yang terbesar yaitu; PDIP (22,1%), Gerindra (12,2%), Nasdem (7,9%), Golkar (7,6%), PKB (6,8%), Demokrat (5,3 %), PKS (4,2%), PPP (2,2%), PAN (1,9%), Perindo (1,6%), Partai Buruh (0,8%), PBB (0,5%), Partai Gelora (0,4%), PSI (0,2%), Partai Hanura (0,2%).
Di luar itu 1,4% responden menyatakan tidak akan memilih (golput), 15,1% merahasiakan pilihannya dan 9,7% tidak menjawab. Pada saat survei dilakukan Partai Ummat belum dinyatakan sebagai peserta Pemilu 2024 sehingga namanya belum masuk ke dalam survei.
Fajar menuturkan bahwa pemilih cukup rasional karena menimbang program kerja (43%) sebagai pertimbangan utama dalam memilih partai politik. Selain itu, calon presiden yang diusung (18%) juga menjadi alasan yang ditimbang oleh pemilih. Hal ini memungkinkan terjadinya “efek ekor jas” dalam Pemilu 2024 nanti, dimana Capres yang diusung berdampak terhadap raihan elektoral partai politik.
Hasil survei menunjukkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi partai politik baru karena peta politik sudah jenuh.
Partai lama relatif dominan menjadi pilihan masyarakat (65%), hanya sedikit (8%) masyarakat yang menimbang akan memilih partai baru. Dengan demikian, kehadiran partai baru tidak cukup punya peluang dalam dinamika kontestasi elektoral.
Selain memiliki elektabilitas, partai-partai politik juga memiliki resistensi. Tingkat resistensi yang dimiliki partai menjadi gambaran, partai yang memiliki elektabilitas tinggi juga menghadapi tingkat penolakan dari mereka yang bukan pemilih partai tersebut.
Hal ini ditunjukkan, PDIP sebagai contoh, memiliki resistensi sebesar 17% di luar pemilihnya. Demikian pula dengan beberapa partai lain seperti PKS, resistensi publik di luar pemilihnya ada sebesar 4,5%. Sementara PSI memiliki resistensi sebesar 5,5%.
Faktor Jokowi
Direktur Eksekutif Algoritma Reseacrh & Consulting Aditya Perdana menjelaskan bahwa menjelang tahun-tahun terakhir pemerintahannya, pamor Presiden Joko Widodo (Jokowi) cenderung meredup. Baik pendukung maupun non pendukungnya cenderung menolak isu-isu politik yang selama ini dikaitkan dengan kepentingan politik Jokowi pascamengakhiri jabatan presidennya.
“Isu perpanjangan masa jabatan presiden, tiga periode presiden, sampai pada perlunya Jokowi membentuk partai politik cenderung kurang disambut positif, baik oleh pendukungnya maupun non pendukungnya. Selain itu, pengaruh Jokowi terhadap pilihan Capres di 2024 juga tidak serta merta akan memberikan insentif elektoral bagi capres yang diusungnya. Kami rasa temuan ini bisa jadi masukan berharga untuk Bapak Presiden dalam menentukan langkah-langkahnya baik dari sisi tugas kepresidenan maupun langkah politiknya,” terang Aditya.
Khusus terkait dengan wacana penundaan pemilu dan/atau perpanjangan masa jabatan presiden yang digulirkan sekelompok elit politik, masyarakat merespon negatif baik wacana penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan Presiden. Sebanyak 76% masyarakat tidak setuju jika pemilu ditunda, sedangkan yang menyatakan ketidaksetujuannya jika masa jabatan presiden diperpanjang ada sebanyak 66%.
Discussion about this post