Oleh: Lismawaty Basiru Pada tataran global saat ini, isu-isu pertanian tidak lagi terbatas pada lingkup nasional, tetapi sangat terkait dengan isu-isu global, seperti krisis pangan dan energi, ancaman pandemik global, perubahan iklim dan sebagainya. Karakter dari berbagai tantangan ini mengingatkan bahwa pendekatan dan solusi internasional harus terus diupayakan. Di era globalisasi, tidak dapat dielakkan pentingnya menjalin kerja sama antarnegara dalam rangka mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan bersama. Kesadaran tersebut telah menumbuhkan banyak jenis kerja sama internasional, baik dalam bidang politik dan pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan maupun lingkungan. Bagi Indonesia, kerja sama internasional sangat dibutuhkan demi terciptanya suatu negara yang sejahtera. Kerja sama internasional yang dikembangkan Indonesia di bidang pertanian tidak terlepas dari potensi sumber daya alam yang dimiliki. Indonesia telah lama dikenal sebagai negara produsen minyak sawit mentah terbesar di dunia, produsen karet alam terbesar kedua setelah Thailand, penghasil kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana, produsen kopi terbesar ketiga setelah Brazil dan Kolombia, serta produsen dan konsumen beras terbesar ketiga di dunia. Dengan segala potensi sumber daya alam yang sangat besar dan letak geografis serta iklim tropisnya, seharusnya Indonesia mampu mengoptimalkan kerja sama pertanian di kawasan Internasional. Namun, realitasnya, sektor pertanian Indonesia masih harus banyak dibenahi untuk mampu bersaing secara internasional. Usaha pertanian Indonesia masih didominasi oleh usaha dengan: (a) skala kecil; (b) modal yang terbatas; (c) penggunaan teknologi yang masih sederhana; (d) produksi sangat dipengaruhi oleh musim; (e) wilayah pasarnya lokal; (f) umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi); dan (g) akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah. Selain itu, berbagai persoalan yang terkait dengan konversi lahan, perubahan iklim, dan lainnya juga belum terselesaikan dengan baik. Demikian halnya dengan kapasitas produksi cenderung makin menurun. Kapasitas produksi pertanian, selain memang rendah sejak awal, juga mengalami kelelahan sistematis karena pola budi daya, lingkungan tumbuh, dan inefisiensi skala produksi usaha tani. Hal ini juga terlihat dari hasil proyeksi 2016-2035 untuk beberapa komoditas pertanian strategis, seperti beras, jagung, gula, bawang merah, cabai merah, dan daging sapi menunjukkan bahwa laju peningkatan konsumsi diperkirakan akan meningkat lebih besar dibandingkan dengan laju peningkatan produksinya. Kondisi ini diperparah dengan adanya keterbatasan petani sebagai pelaku utama dalam mengelola dan memodifikasi lingkungan biofisik dan sosial ekonomi sistem produksi pertanian. Berbagai alasan penyebab menurunnya minat tenaga kerja muda, selain pertanian merupakan pekerjaan kasar dan rendahnya tingkat upah, juga terbatasnya penguasaan lahan pertanian, serta rendahnya skill budi daya dan pascapanen. Dalam hal inilah krisis tenaga muda di sektor pertanian akan memicu persoalan ketenagakerjaan kompleks. Perdagangan bebas di sektor pertanian telah membuat pembangunan sektor pertanian menjadi terhambat. Keadaan ini disebabkan oleh persaingan yang sangat ketat dari produk produk pertanian sejenis yang diimpor. Produk pangan dalam negeri umumnya masih kalah bersaing dengan produk pangan impor. Impor pangan Indonesia diperkirakan akan makin besar pada masa mendatang karena tidak adanya proteksi dari pemerintah, seperti dengan dipermudahnya tata niaga impor, dihapuskannya monopoli Bulog sebagai importir tunggal, serta dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) beberapa komoditi pangan. Subsidi ekspor yang dilakukan oleh negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa, juga membuat pangan impor makin menguasai pasaran dalam negeri. Di sisi lain, kekuatan ataupun kelemahan pertanian di Indonesia terkait dengan skala pengusahaan, penguasaan teknologi prapanen dan pascapanen, permodalan, manajemen produksi, dan pemasaran. Keberhasilan dalam pemberdayaan pertanian skala kecil akan berdampak pada pembangunan dalam konteks yang lebih luas dari eksistensi pertanian itu sendiri karena berimplikasi langsung pada ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja, dan sosial budaya suatu bangsa. Oleh sebab itu, upaya pemberdayaan pertanian skala kecil tidak hanya berkenaan dengan peningkatan produktivitas, produksi, mutu, dan daya saing produknya di pasar lokal, nasional, global; namun mencakup pula aspek-aspek sosial ekonomi dan kelembagaan yang kondusif untuk meningkatkan pendapatan, harkat, dan martabat petani dalam eksistensinya sebagai bagian dari bangsa ini. Dengan makin terbukanya peluang kerja sama internasional di sektor pertanian. Indonesia harus dipersiapkan dengan melakukan banyak pembenahan terutama difokuskan pada upaya peningkatan kapasitas produksi, peningkatan keragaman variasi produk turunan, serta peningkatan kedalaman tingkat hilirisasi produk pertanian. Hal ini dapat dilakukan melalui upaya-upaya, antara lain: 1) Membangun kapasitas produksi pangan yang diikuti oleh peningkatan kesejahteraan petani. 2) Membangun daya tahan (resilience) usaha tani dalam menghadapi risiko perubahan iklim, bencana alam, dan ketidakpastian pasar, antara lain melalui sistem asuransi pertanian, perbankan pertanian, dan pengelolaan gejolak harga pangan (management of market volatility). 3) Meningkatkan aksesibilitas petani terhadap sumber daya lahan melalui reforma agraria atau pemanfaatan lahan telantar dengan dukungan permodalan dan subsidi harus menjadi salah satu prioritas dalam upaya peningkatan kapasitas produksi pangan nasional. 4) Meningkatkan industri kemampuan hilirisasi teknologi dengan melakukan industrial upgrading secara bertahap dengan meningkatkan struktur endowment (modal dan tenaga kerja), mengembangkan hilirisasi yang bersifat Comparative Advantage Following (CAF), mendorong investasi asing masuk di sektor hilirisasi terutama yang membutuhkan intensif capital dan advance technology untuk membawa sektor hilirisasi masuk ke pasar internasional, membangun SDM, serta melakukan transfer ilmu pengetahuan. 5) Memperluas rantai pasokan (expansion of supply chain), jaringan perdagangan (trading networks), dan membangun kerja sama regional dan internasional terkait dengan masalah global seperti perubahan iklim, sustainability, perdagangan, dan koherensi regulasi sehingga pasar global dapat berfungsi dengan baik. 6) Membangun infrastruktur untuk meningkatkan efisiensi sistem produksi, value chain, sistem transportasi domestik, aksesibilitas, serta meningkatkan koneksi ke pasar internasional. 7) Penetapan standar nasional yang sesuai dengan standar internasional serta penguatan infrastruktur seperti standardisasi, menyiapkan laboratorium uji berstandar internasional. 8) Memperkuat kelembagaan menumbuhkembangkan untuk kelembagaan politik, ekonomi, dan sosial guna meningkatkan kemampuan dan daya saing usaha pertanian. Indonesia juga perlu membangkitkan kembali peran sektor pertanian dengan dukungan politik yang kuat melalui peran konkret untuk melindungi hak kepemilikan pelaku agribisnis (kecil, menengah, besar) melalui legislasi dan regulasi. Strategi kebijakan lainnya adalah mengupayakan untuk meningkatkan kemampuan daya saing pertanian secara terstruktur dan komprehensif. Selain itu, peran dan fungsi diplomasi pertanian perlu terus diperkuat sehingga mampu memberikan sumbangsih besar dalam peningkatan kinerja sektor pertanian nasional baik dalam ranah bilateral, regional, maupun dalam ranah global. Diplomasi pertanian akan menjadi sangat sentral sebagai perpanjangan kepentingan nasional pada proses negosiasi dan pembuatan kebijakan pertanian, baik di kawasan Internasional maupun di tataran global.(***) Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Prodi Ilmu Pertanian Universitas Halu Oleo Jangan lewatkan video populer: https://www.youtube.com/watch?v=SHE_5z5oEW8
Discussion about this post