Oleh: Delianur
Revolusi yang merubah kehidupan manusia pada dasarnya dimulai pada 1776 ketika James Watt menemukan mesin uap.
Diantara efek temuan mesin uap ketika kapal laut bisa berlayar 24 jam menggantikan otot manusia. Berlayar menjadi lebih cepat dan lebih mudah sehingga imperialisme global pun bisa melebarkan sayapnya dengan cepat.
Setelah itu revolusi kehidupan manusia berlanjut ketika Thomas Alfa Edison menemukan listrik. Energi baru yang lebih bersih dan dan ramah lingkungan sehingga industri bisa bergerak lebih cepat.
Perubahan berlanjut ketika manusia menemukan komputer dan robot. Sebuah mesin yang bisa bergerak secara otomatis. Komputer dan robot, bukan hanya menggantikan otot manusia, tapi juga otak manusia.
Setelah itu, kehidupan manusia berubah dikarenakan munculnya teknologi siber. Sebuah era dimana pertukaran data (Big Data) yang menghasilkan teknologi cerdas. Begitulah kira-kira paparan Working Group on Industri 4.0 bentukan pemerintah Federal Jerman. Sebuah kelompok kerja yang bertugas untuk mempetakan dan merumuskan strategi industri kedepan.
Paparan Working Group inilah yang kemudian menjadi bahan pijakan berbagai negara dalam merumuskan kebijakan pengembangan industrinya. Diantaranya adalah Indonesia.
Bila insan pers menjadikan paparan di atas sebagai salah satu rujukan, maka kita akan menemukan betapa insan pers selalu menghadapi tantangan dan ancaman dalam setiap fasenya.
Namun insan pers selalu menghadapi semuanya dengan cara kreatif. Meski awalnya mengancam, namun dinamika di setiap fase bukan hanya memperkuat kerja-kerja jurnalistik tapi juga membuat pola baru kerja jurnalistik.
Kita umpamakan saja masa ketika listrik menjadi sumber energi utama. Listrik mungkin menghasilkan Radio dan Televisi sebagai kompetitor baru media cetak. Namun listrik juga yang mengakselerasi kerja media cetak yang awalnya mencetak hanya berdasar pada temuan mesin cetak Guttenberg.
Pada satu sisi listrik mungkin bisa mengakselerasi industri media cetak yang memproduksi tulisan melalui mesin Guttenberg. Bahkan pada akhirnya dua jenis media ini bisa berjalan beriringan di mana masing-masing mempunyai pasar tersendiri. Begitu juga ketika manusia memasuki fase komputerisasi (Industri 3.0). Era ini mungkin tidak melahirkan media baru, tetapi berhasil memperkuat cara kerja media cetak dan elektronik.
Proses menulis, mencetak berita, membuat program media elektronik sangat terbantu dengan adanya komputer. Ketika komputer berkonvergensi dengan internet, insan pers juga menghadapi masa ini dengan lincah dengan melahirkan media online.
Namun situasi berbeda ketika kita memasuki era Industri 4.0 atau era yang sedang kita hadapi sekarang. Pada era berdasar sistem otomatis, Internet of Think dan Machine Learning ini, Pers sepertinya masih gelagapan mencari cara untuk menghadapinya.
Transformasi digital yang menjadi keharusan di era ini, belum bisa dilakukan dengan baik. Mungkin bila kita lihat semuanya dalam dimensi waktu, maka kita masih di era-era awal menghadapi transformasi digital. Era yang bukan hanya sangat menyulitkan, tapi juga sangat menentukan.
Discussion about this post