“Pada tahun 2021, sebanyak 23,1 jiwa (8,49%) penduduk Indonesia mengkonsumsi kalori kurang dari standar minimum untuk hidup sehat dan aktif. Dan juga kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia belum beragam dan bergizi seimbang. Masih tingginya konsumsi padi-padian, minyak dan lemak serta kurangnya konsumsi sayur dan buah, pangan hewani serta umbi-umbian,” kata Arief.
Selanjutnya Badan Pangan Nasional akan menyandingkan data-data daerah rawan pangan dengan data-data daerah dengan prevalensi stunting tinggi. Dengan menyatukan kedua data tersebut maka upaya percepatan penurunan stunting bisa dilakukan dengan baik.
“Apakah ada irisan daerah rawan pangan dengan prevalensi stunting? Pertanyaan inilah yang akan kita jawab bersama-sama dan kita sebagai Badan Ketahanan Pangan siap membantu dengan sinergi untuk percepatan penurunan stunting,” kata Arief.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menilai Badan Pangan Nasional berperan sangat penting dalam upaya percepatan penurunan prevalensi stunting.
Menurut Hasto, adanya irisan (overlay) data-data yang dimiliki Badan Pangan Nasional terkait daerah yang mengalami rawan pangan serta data dari BKKBN maka diharapkan akan mendapatkan lokasi yang akan dijadikan prioritas percepatan penurunan stunting.
“Kalau dipetakan secara umum maka irisan yang harus kita bangun itu pertama data. Kita harus bisa membangun irisan data daerah yang rawan pangan dengan daerah prevalensi stunting. Kami sudah punya data keluarga risiko stunting by name by address. Nanti dikombinasikan dengan data Badan Pangan Nasional, daerah rawan pangan maka daerah itu jadi prioritas,” kata Hasto.
Dengan adanya lokasi prioritas maka bisa ditentukan strategi yang akan digunakan. Hasto memberi contoh misalnya apakah dengan pemberdayaan untuk meningkatkan ekonomi warga atau melalui pemberian makanan langsung.
“Dengan memberikan makanan langsung, BKKBN sudah punya wadah, namanya Kampung Keluarga Berkualitas,” kata Hasto.
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post