Kewenangan PPNS Perikanan yang diatur dalam UU Perikanan merupakan lex specialis derogat legi generalis, salah satu asas hukum, yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus kesampingkan aturan hukum yang umum. Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan penyidik, Ditjen PSDKP kemudian menetapkan Keputusan Dirjen PSDKP No.372/DJ-PSDKP/2011, tanggal 29 Desember 2011 tentang Petunjuk Teknis Penyidikan Tindak Pidana Perikanan.
Juknis tersebut menjadi petunjuk bagi PPNS perikanan untuk melaksanakan penyidikan yang dimulai dari pemeriksaan pendahuluan, serta penerimaan dan penelitian perkara tindak pidana perikanan yang diserahkan oleh kapal pengawas perikanan.
Selain itu, juga menjadi petunjuk dalam melaksanakan proses penyidikan yang meliputi Surat Perintah Tugas, Surat Perintah Penyidikan, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, Pemanggilan, Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, Pemeriksaan, dan in Absentia.
Paradigma penegakan hukum kelautan perikanan dan Berantas Illegal Fishing pada kurun waktu 2014-2019 menganut sistem Multi Rezim, bahwa unsur-unsur yang bersifat lintas instansi dan kewenangan koordinasi, diharapkan dapat optimalkan segala instrumen hukum dengan konsep multi rezim hukum serta optimalkan koordinasi baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga penegakan hukum terhadap penangkapan ikan secara ilegal (Ilegal Fishing) menjadi efektif dan efisien.
Maksud konsep multi rezim hukum adalah menggunakan tidak hanya satu undang-undang untuk menjerat pelaku kejahatan, namun juga undang-undang lain yang berkaitan dengan kegiatan perikanan, dalam hal ditemukan fakta-fakta adanya kejahatan lain. Undang-undang apa saja?. Kok tidak ada dalam Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri.
Namun, konsep ini mendapat penolakan kuat dari nelayan, karena dampaknya dianggap alat tangkap nelayan semua merusak dan tidak ramah lingkungan. Penegakan hukum sesuai hukum positif Indonesia dan konstitusi. Sementara konsep Multi Rezim tidak ada konsep penegakan hukum tindak pidana perikanan berdasarkan: “Multi Rezim.”
Tetapi, tafsir hukum konsep Multi Rezim bahwa kejahatan di bidang perikanan erat dengan kejahatan lain yang bersifat lintas negara sehingga bisa menindak kasus-kasus yang berkaitan perdagangan orang, penyelundupan, pelayaran, ketenagakerjaan, narkoba, keimigrasian, ekspor Illegal, dan lainnya. Konsep Multi Rezim tidak menjustifikasi alat tangkap nelayan merusak sehingga berujung larangan, seperti kasus 2014-2019, KKP menggunakan Multi Rezim sehingga sekitar 72 cabang alat tangkap nelayan dan ratusan ribu macam jenis alat tangkap terlarang.
Kedepan, tak lagi penegakan hukum dengan konsep: “Multi Rezim Hukum” yang gagal bersifat humanistik dalam koordinasikan tugas bersama lembaga lain seperti Bakamla, TNI AL, Kepolisian, Kejaksaan dan PPNS. Pola Multi Rezim juga, mengalami ketimpangan, kapal Illegal tidak ditangkap semua, tetapi hanya satu kapal diantara yang lain. Hanya satu juga yang dibawa ke pengadilan. Proses pengadilan juga sangat lamban dan malah terkesan “Kapal Deportasi” karena indikasi tebusan.
Kalau memang serius Satgas 115 waktu itu, pada saat melaksanakan operasi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, upaya hukum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Mestinya tidak ada deportasi keberbagai negara asal kapal tersebut.
Pendekatan Berantas Illegal Fishing Secara Humanistik
Visi misi Pasangan AMIN dalam dokumennya pada No. 28 Simpul Kesejahteraan seputar nelayan, tertera pada item 19 tentang “Kapal Pencuri Ikan Ilegal Ditangkap dan Disanksi Berat.” Paradigma dan doktrin berantas Illegal Fishing, maka pasangan AMIN: Anies Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar perlu ada regulasi efektif yang bersifat humanistik.
Hal itu untuk menjelaskan: pertama, penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing) adalah kegiatan perikanan yang tidak sah dan kegiatan yang bertentangan dengan undang-undang di bidang perikanan. Kedua, penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (Unreported Fishing) adalah kegiatan tidak melaporkan hasil tangkapan atau melaporkan hasil tangkapan yang tidak sesuai dengan hasil tangkapan yang sebenarnya sebagaimana diatur dalam ketentuan undang-undang di bidang perikanan.
Sedari awal, Pasangan AMIN harus memahami konsep berantas IUU Fishing yang substansinya harus mengajak nelayan secara bersama sehingga terintegrasi dalam satu visi untuk bebaskan laut Indonesia dari kejahatan pencurian ikan. Tentu pendekatan yang dilakukan secara humanistik.
Penting sekali mengajak nelayan berantas Illegal Fishing yang setiap waktu dalam kegiatan melaut. Ada baiknya, pemerintah berikan nelayan kesempatan (tidak dibatasi), bangun komitmen dan terbuka dalam dialog secara bersama-sama berantas illegal fishing sehingga sistem humanistik itu bisa berjalan. Apalagi, pemerintah memiliki kemampuan untuk bekali nelayan secara lengkap alat untuk komunikasi langsung apabila ada kapal asing lakukan pencurian di perairan Indonesia.
Salah satu misal kasus penangkapan nelayan lobster oleh Pokmaswas Poto Tano Sumbawa adalah bentuk arogansi. Aparat penegak hukum di bidang perikanan/PPNS makin sering kita dapatkan jauh dari rasa keadilan terhadap nelayan lobster. Kasus nelayan dijadikan sapi perah. Mestinya melakukan pencegahan. Bukan langsung menangkap dan penjarakan nelayan. Mestinya nelayan dalam kasus tersebut, tidak langsung penjara tanpa ada proses apapun. Padahal, nelayan sedang istirahat, belum melakukan aktivitas penyelaman penangkapan lobster.
Selain itu, Pasangan AMIN perlu juga pahami konteks doktrin Ilegal Fishing terhadap nelayan yang menggunakan kompresor. Sebenarnya, tidak dikatakan ilegal karena kompresor sebagai alat pernafasan ketika menyelam. Namun, tafsir pelarangan terhadap kompresor itu ada beberapa kajian, yakni: ruang lingkup dan pengertian kompresor adalah alat penangkapan, bukan alat bom dan potas. Pelarangan kompresor karena dianggap merusak kesehatan karena 50 persen angin dan 50 persen oksigen.
Nelayan berfungsi mencari nafkah dengan melakukan penangkapan lobster dengan cara menyelam. Soal kajian alat kompresor yang mereka pakai menangkap lobster alam, juga masih disebutkan terlarang di UU Perikanan.
Pemahaman aparat penegak hukum: TNI AL, POLRI, Kejaksaan, PSDKP dan PPNS tidak ada sinkronisasi terhadap kriminalisasi yang sering terjadi terhadap nelayan sehingga sudah rahasia umum nelayan menjadi sapi perah.
Dikatakan Ilegal Fishing ketika terjadi secara sengaja melakukan upaya ilegal fishing berupa bom dan potas. Sudah jelas proses menyelam memakai kompresor. Jadi harus dibedakan antara kompresor sebagai alat pernafasan dengan tindakan melawan hukum atau sedang melakukan illegal fishing secara destructive: bom potas.
Artinya, dalam konteks illegal fishing yang berbasis pada destructive fishing, harus ada komunikasi, pemberdayaan, pelajaran, pendidikan, pembinaan dan penyadaran yang baik. Bukan langsung menangkap dan lakukan penegakan hukum secara bar-bar tanpa sisi humanistik.
Sebenarnya, nelayan bisa diajak kerja sama dalam berantas illegal fishing. Dalam kasus nelayan pukat tarik tahun 2019, sempat videokan aktivitas kapal asing Thailand. Nelayan mengirim pesan berupa video yang diambil saat melaut itu. Artinya, melayan berusaha bantu pemerintah lakukan berantas Illegal Fishing dengan memberi informasi dan kabar.
Memang, tidak memantik tersumbatnya upaya berantas Illegal Fishing sebagai salah satu kebijakan. Namun, harapannya penegakan hukum diharuskan juga pada pemilik kapal asing yang mencuri ikan untuk disanksi berat dan proses hukum. Karena selama ini, faktor keterhambatan dalam berantas illegal fishing adalah komunikasi dengan nelayan sebagai mitra pemerintah untuk menjaga laut secara utuh tanpa gangguan.
Keterputusan komunikasi itu, lebih pada pandangan subjektif pemerintah terhadap nelayan, misalnya melarang alat tangkap yang selama ini hasil modernisasi nelayan itu sendiri. Seumpama komunikasi baik itu terjalin bagus dan erat antara pemerintah dengan nelayan, maka berantas illegal fishing tidak berada pada jalan kebuntuan.
Discussion about this post