Oleh: Rusdianto Samawa Visi misi Pasangan AMIN dalam dokumennya pada No. 28 Simpul Kesejahteraan seputar nelayan, tertera pada item 19 tentang "Kapal Pencuri Ikan Ilegal Ditangkap dan Disanksi Berat." Artinya, visi misi pasangan AMIN komitmen berantas tindakan kriminal di laut yang inilah dikenal istilah Illegal, Unreported dan Unregulated Fishing (IUU Fishing) yaitu kegiatan penangkapan ikan yang tidak sah, penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, dan penangkapan tidak sesuai aturan. Bagi ketiga komponen berantas ilegal fishing, pasangan AMIN tegaskan, "Kapal Pencuri Ikan" merupakan Kapal Asing. Bukan kapal nelayan Indonesia. Kalau wilayah Over Fishing, berarti dalam negeri dengan kebijakan manajemen alat tangkap yang ramah lingkungan. Kemudian, Unreported Fishing yakni penangkapan ikan dengan cara bombing atau bom ikan. Persoalan Unreported sendiri tidak dibenarkan dalam sistem negara manapun. Karena itu, merusak dan tak memiliki kearifan dalam menjaga sumberdaya hayati maupun sumberdaya ikan. Jadi harus dibedakan dari ketiga paradigma pemberantasan ilegal fishing diatas. Supaya kedepan, tak ada lagi justifikasi alat tangkap nelayan yang merusak dan bersifat larangan. Pemerintah harus mengatur tata kelola alat tangkap yang ramah lingkungan. Pentingnya lagi, penegakan hukum terhadap alat tangkap nelayan, tidak lagi bersifat Koboy: ancam mengancam, memeras, penembakan dan menangkap tanpa prosedur hukum yang jelas. Sejarah, Perjalanan dan Paradigma Berantas Illegal Fishing Kesalahan yuridis regulasi pemerintah yakni tidak terdapatnya pertimbangan dasar hukum seperti UU TNI, UU Pertahanan, UU Perikanan, UU Keamanan, UU Kepolisian RI, UU Kejaksaan, UU Kelautan, UNCLOS 1982, dan UUD 1945. Aneh bin ajaib setiap regulasi berantas Illegal Fishing selama dalam sejarah, perjalanan dan paradigmanya, sehingga dalam pelaksanaan kegiatan berantas Illegal Fishing sesuai keinginan, kepentingan dan kemauan. Padahal dalam evaluasinya berantas IUUF selalu disclaimer dan dijadikan lahan bisnis paradigma lingkungan. Dalam debat ketiga Capres, Anies Baswedan ungkap bahwa negara kebobolan atas kerakusan pencuri ikan dan pencuri pasir. Artinya, pemerintah perlu evaluasi kinerjanya dalam berantas illegal fishing. Salah satu kelemahan pemerintah yakni pembuatan regulasi tanpa dialog dengan stakeholders sehingga kebuntuan dan kerancuan selalu terjadi dalam berbagai kegiatan berantas ilegal fishing. Kefatalan dalam pembuatan regulasi berantas IUUF tidak menimbang faktor kebutuhan. Seringkali memaksa aspek logika penegakan hukum murni sehingga terkesan monoton dan teoritis yang dangkal (baca: Rusdianto, Dialogis Policy of Dialogue - Dialog Kebijakan). Kalau regulasi IUUF itu, berprinsip selamatkan laut terhadap stakeholders kelautan dan perikanan, maka dampak terjadi dehumanisasi terhadap masyarakat pesisir dan mematikan unsur usaha ekonomi secara sekaligus. Memang, regulasi harus mengatur 3 hal yakni over fishing, destructive fishing dan ilegal fishing. Tentu, regulasi itu bersifat humanis. Regulasi humanistik dalam penegakan hukum proses berantas IUUF harus pertimbangkan: pertama, praktek kejahatan IUUF di bidang perikanan telah merusak sumber daya perikanan, ekosistem laut, perekonomian, dan sosial masyarakat sehingga perlu ditangani secara humanistik terpadu. Kedua, pemerintah kedepan harus fokus koordinasi dengan kementerian/lembaga negara seperti Bakamla, TNIAL, Polri, KPK, Komnas HAM dan Kejaksaan sehingga memiliki standar humanistik. Ketiga, untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan berantas Ilegal Fishing, perlu menyusun Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Humanistik sehingga dalam pelaksanannya tidak terkesan pelanggaran HAM dan bersifat humanitarian. Pengalaman pemerintah selama 5 tahun pertama rezim (2014-2019), pernah ada Satgas 115 sebagai Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal (Ilegal Fishing). Namun, dalam berbagai pelaksanaan terdapat banyak kekeliruan yang terkesan abai terhadap keadilan. Regulasi Satgas 115 dianggap melanggar konstitusi. Karena mestinya kewenangan Presiden, bukan wewenang kementerian terkait. Mestinya Satgas 115 itu sesuai hirarki dan mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan. Selain itu, paling krusial yakni penetapan pola penganggaran yang mestinya diatur bersama dalam siklus APBN. Bukan, pengelolaan Satgas bersumber dari dana hibah dan sumbangan sukarela pengusaha. Esensi penegakan hukum tindak pidana kelautan perikanan dan berantas Ilegal Fishing (IUUF) yakni: pertama, selaraskan kedudukan nelayan dalam unsur keadilan sehingga proses penegakan hukum mendapat objektifitas. Masalah paling rumit, tak bisa mengartikan esensi berantas IUUF yang sering generalisasi seluruh alat tangkap nelayan merusak. Sebagaimana yang terjadi pada banyak nelayan yang distigmatisasi sebagai pelanggar konservasi sumber daya kelautan perikanan (alat tangkap tak ramah lingkungan). Kedua, makna berantas ilegal fishing bukan pada area dalam negeri. Tetapi area Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antar negara terhadap nelayan pencuri ikan yang memakai kapal asing. Kalau zona penangkapan (WPPNRI) terjadi over fishing dan Unreported yang merupakan bagian dari berantas Ilegal fishing, maka terdapat pola-pola humanistik yang diterapkan seperti: dialog, pembinaan, penyidikan, penyelidikan dan penegakan hukum sesuai standar KUHP dan KUHAP. Kegiatan penegakan hukum tindak pidana perikanan dilaksanakan melalui dua cara, yaitu pencegahan dan penanganan kasus tindak pidana perikanan yang dikategorikan ke dalam tiga tahapan yaitu penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Tahapan inilah yang disebut sistem peradilan pidana terpadu. Penyidikan dalam sistem peradilan pidana perikanan sesuai cara yang diatur dalam undang-undang perikanan. Bertujuan membuktikan dan membebaskan serta menemukan pelakunya (Pasal 1 Angka 2 KUHAP). Dalam kerangka sistem peradilan pidana, peran aparatur penegak hukum, khususnya penyidik, sangat strategis. Penyidik merupakan pintu awal dimulainya tugas pencarian kebenaran materil dalam upaya penegakan hukum. Kegiatan penyidikan tindak pidana perikanan sesuai dengan tercantum dalam Pasal 73 UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Perikanan) menjelaskan bahwa penyidikan tindak pidana perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), perwira TNI AL, dan/atau pejabat Polri. Secara terminologi PPNS Perikanan menurut PP Nomor 58 Tahun 2010 Pasal 1 angka 6, adalah pegawai negeri tertentu sebagaimana disebutkan dalam KUHAP, baik yang berada di pusat maupun di daerah yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, dalam hal ini wewenang dalam penanganan tindak pidana perikanan. PPNS Perikanan merupakan salah satu trisula dalam memperkarakan tindak pidana perikanan sebagaimana yang tertuang dalam UU Perikanan pada pasal 73A, penyidik memiliki 12 kewenangan, yaitu: 1). menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan; 2). memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya. 3). membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; 4). menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan; 5). menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan; 6). Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan. 7). memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan; 8). mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan; 9). membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan; 10). melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana; 11). melakukan penghentian penyidikan; dan 12). mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan. Kewenangan PPNS Perikanan yang diatur dalam UU Perikanan merupakan lex specialis derogat legi generalis, salah satu asas hukum, yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus kesampingkan aturan hukum yang umum. Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan penyidik, Ditjen PSDKP kemudian menetapkan Keputusan Dirjen PSDKP No.372/DJ-PSDKP/2011, tanggal 29 Desember 2011 tentang Petunjuk Teknis Penyidikan Tindak Pidana Perikanan. Juknis tersebut menjadi petunjuk bagi PPNS perikanan untuk melaksanakan penyidikan yang dimulai dari pemeriksaan pendahuluan, serta penerimaan dan penelitian perkara tindak pidana perikanan yang diserahkan oleh kapal pengawas perikanan. Selain itu, juga menjadi petunjuk dalam melaksanakan proses penyidikan yang meliputi Surat Perintah Tugas, Surat Perintah Penyidikan, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, Pemanggilan, Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, Pemeriksaan, dan in Absentia. Paradigma penegakan hukum kelautan perikanan dan Berantas Illegal Fishing pada kurun waktu 2014-2019 menganut sistem Multi Rezim, bahwa unsur-unsur yang bersifat lintas instansi dan kewenangan koordinasi, diharapkan dapat optimalkan segala instrumen hukum dengan konsep multi rezim hukum serta optimalkan koordinasi baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga penegakan hukum terhadap penangkapan ikan secara ilegal (Ilegal Fishing) menjadi efektif dan efisien. Maksud konsep multi rezim hukum adalah menggunakan tidak hanya satu undang-undang untuk menjerat pelaku kejahatan, namun juga undang-undang lain yang berkaitan dengan kegiatan perikanan, dalam hal ditemukan fakta-fakta adanya kejahatan lain. Undang-undang apa saja?. Kok tidak ada dalam Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri. Namun, konsep ini mendapat penolakan kuat dari nelayan, karena dampaknya dianggap alat tangkap nelayan semua merusak dan tidak ramah lingkungan. Penegakan hukum sesuai hukum positif Indonesia dan konstitusi. Sementara konsep Multi Rezim tidak ada konsep penegakan hukum tindak pidana perikanan berdasarkan: “Multi Rezim.” Tetapi, tafsir hukum konsep Multi Rezim bahwa kejahatan di bidang perikanan erat dengan kejahatan lain yang bersifat lintas negara sehingga bisa menindak kasus-kasus yang berkaitan perdagangan orang, penyelundupan, pelayaran, ketenagakerjaan, narkoba, keimigrasian, ekspor Illegal, dan lainnya. Konsep Multi Rezim tidak menjustifikasi alat tangkap nelayan merusak sehingga berujung larangan, seperti kasus 2014-2019, KKP menggunakan Multi Rezim sehingga sekitar 72 cabang alat tangkap nelayan dan ratusan ribu macam jenis alat tangkap terlarang. Kedepan, tak lagi penegakan hukum dengan konsep: “Multi Rezim Hukum” yang gagal bersifat humanistik dalam koordinasikan tugas bersama lembaga lain seperti Bakamla, TNI AL, Kepolisian, Kejaksaan dan PPNS. Pola Multi Rezim juga, mengalami ketimpangan, kapal Illegal tidak ditangkap semua, tetapi hanya satu kapal diantara yang lain. Hanya satu juga yang dibawa ke pengadilan. Proses pengadilan juga sangat lamban dan malah terkesan “Kapal Deportasi" karena indikasi tebusan. Kalau memang serius Satgas 115 waktu itu, pada saat melaksanakan operasi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, upaya hukum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Mestinya tidak ada deportasi keberbagai negara asal kapal tersebut. Pendekatan Berantas Illegal Fishing Secara Humanistik Visi misi Pasangan AMIN dalam dokumennya pada No. 28 Simpul Kesejahteraan seputar nelayan, tertera pada item 19 tentang "Kapal Pencuri Ikan Ilegal Ditangkap dan Disanksi Berat." Paradigma dan doktrin berantas Illegal Fishing, maka pasangan AMIN: Anies Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar perlu ada regulasi efektif yang bersifat humanistik. Hal itu untuk menjelaskan: pertama, penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing) adalah kegiatan perikanan yang tidak sah dan kegiatan yang bertentangan dengan undang-undang di bidang perikanan. Kedua, penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (Unreported Fishing) adalah kegiatan tidak melaporkan hasil tangkapan atau melaporkan hasil tangkapan yang tidak sesuai dengan hasil tangkapan yang sebenarnya sebagaimana diatur dalam ketentuan undang-undang di bidang perikanan. Sedari awal, Pasangan AMIN harus memahami konsep berantas IUU Fishing yang substansinya harus mengajak nelayan secara bersama sehingga terintegrasi dalam satu visi untuk bebaskan laut Indonesia dari kejahatan pencurian ikan. Tentu pendekatan yang dilakukan secara humanistik. Penting sekali mengajak nelayan berantas Illegal Fishing yang setiap waktu dalam kegiatan melaut. Ada baiknya, pemerintah berikan nelayan kesempatan (tidak dibatasi), bangun komitmen dan terbuka dalam dialog secara bersama-sama berantas illegal fishing sehingga sistem humanistik itu bisa berjalan. Apalagi, pemerintah memiliki kemampuan untuk bekali nelayan secara lengkap alat untuk komunikasi langsung apabila ada kapal asing lakukan pencurian di perairan Indonesia. Salah satu misal kasus penangkapan nelayan lobster oleh Pokmaswas Poto Tano Sumbawa adalah bentuk arogansi. Aparat penegak hukum di bidang perikanan/PPNS makin sering kita dapatkan jauh dari rasa keadilan terhadap nelayan lobster. Kasus nelayan dijadikan sapi perah. Mestinya melakukan pencegahan. Bukan langsung menangkap dan penjarakan nelayan. Mestinya nelayan dalam kasus tersebut, tidak langsung penjara tanpa ada proses apapun. Padahal, nelayan sedang istirahat, belum melakukan aktivitas penyelaman penangkapan lobster. Selain itu, Pasangan AMIN perlu juga pahami konteks doktrin Ilegal Fishing terhadap nelayan yang menggunakan kompresor. Sebenarnya, tidak dikatakan ilegal karena kompresor sebagai alat pernafasan ketika menyelam. Namun, tafsir pelarangan terhadap kompresor itu ada beberapa kajian, yakni: ruang lingkup dan pengertian kompresor adalah alat penangkapan, bukan alat bom dan potas. Pelarangan kompresor karena dianggap merusak kesehatan karena 50 persen angin dan 50 persen oksigen. Nelayan berfungsi mencari nafkah dengan melakukan penangkapan lobster dengan cara menyelam. Soal kajian alat kompresor yang mereka pakai menangkap lobster alam, juga masih disebutkan terlarang di UU Perikanan. Pemahaman aparat penegak hukum: TNI AL, POLRI, Kejaksaan, PSDKP dan PPNS tidak ada sinkronisasi terhadap kriminalisasi yang sering terjadi terhadap nelayan sehingga sudah rahasia umum nelayan menjadi sapi perah. Dikatakan Ilegal Fishing ketika terjadi secara sengaja melakukan upaya ilegal fishing berupa bom dan potas. Sudah jelas proses menyelam memakai kompresor. Jadi harus dibedakan antara kompresor sebagai alat pernafasan dengan tindakan melawan hukum atau sedang melakukan illegal fishing secara destructive: bom potas. Artinya, dalam konteks illegal fishing yang berbasis pada destructive fishing, harus ada komunikasi, pemberdayaan, pelajaran, pendidikan, pembinaan dan penyadaran yang baik. Bukan langsung menangkap dan lakukan penegakan hukum secara bar-bar tanpa sisi humanistik. Sebenarnya, nelayan bisa diajak kerja sama dalam berantas illegal fishing. Dalam kasus nelayan pukat tarik tahun 2019, sempat videokan aktivitas kapal asing Thailand. Nelayan mengirim pesan berupa video yang diambil saat melaut itu. Artinya, melayan berusaha bantu pemerintah lakukan berantas Illegal Fishing dengan memberi informasi dan kabar. Memang, tidak memantik tersumbatnya upaya berantas Illegal Fishing sebagai salah satu kebijakan. Namun, harapannya penegakan hukum diharuskan juga pada pemilik kapal asing yang mencuri ikan untuk disanksi berat dan proses hukum. Karena selama ini, faktor keterhambatan dalam berantas illegal fishing adalah komunikasi dengan nelayan sebagai mitra pemerintah untuk menjaga laut secara utuh tanpa gangguan. Keterputusan komunikasi itu, lebih pada pandangan subjektif pemerintah terhadap nelayan, misalnya melarang alat tangkap yang selama ini hasil modernisasi nelayan itu sendiri. Seumpama komunikasi baik itu terjalin bagus dan erat antara pemerintah dengan nelayan, maka berantas illegal fishing tidak berada pada jalan kebuntuan. Namun, justru komunikasi yang diharapkan itu terhambat karena substansi dasarnya tidak dipahami. Padahal, apapun argumentasi yang ada, kita semua inginkan nelayan sejahtera. Tetapi tidak dengan melarang alat tangkap. Apalagi ada kanalisasi terhadap nelayan dengan menjustifikasi alat tangkapnya itu sebagai perusak ekosistem laut. Padahal seluruh alat tangkap apabila tidak dilakukan mitigasi dan pengendalian, maka akan merusak. Jika dilakukan pengendalian melalui regulasi yang baik, maka alat tangkap yang dipakai nelayan sesungguhnya membawa bangsa Indonesia dipandang positif dan bisa mensejahterakan nelayannya. Kembali pada substansi illegal fiahing. Pada intinya harus ada komunikasi yang baik sehingga pendekatan humanistik bisa berjalan baik. Pemerintah juga sebaiknya memberi apresiasi nelayan pukat tarik lain yang bantu pemerintah lakukan berantas illegal fishing. Salah satu contohnya, ketika nelayan pukat tarik pulau Podang dan Pangkep mampu mengungkap keberadaan kapal Vietnam di perairan Kendari Sulawesi Tenggara. Begitu juga nelayan pukat tarik Bitung yang berusaha mengejar kapal Thailand di perairan Kalimantan Barat, disaat kapal Thailand tersebut sedang menangkap ikan. Pola dan upaya diatas salah satu komitmen nelayan untuk bantu pemerintah berantas Illegal Fishing. Karena pemerintah tak bisa sendiri seperti Superhero Koboy untuk berantas illegal fishing. Maka perlu bantuan nelayan secara sukarela dan bersama-sama. Pijakan keputusan untuk mengontrol perairan dengan berbagai alat: Vessel Monitoring System (VMS) dan kapal pengawas, tentu harus kuat. Hal itu bisa dikerjakan secara terus menerus apabila anggarannya cukup untuk mengawasi keberadaan kapal ilegal tersebut. Sejauh ini, nelayan sangat mendukung pemerintah berantas illegal fishing sehingga harus ada kesamaan berpikir supaya kebijakan itu dikerjakan secara bersama agar terintegrasi dalam satu visi untuk bebaskan laut Indonesia dari kejahatan pencurian ikan diseluruh perairan Indonesia. Selain itu, komunikasi antar lembaga dan instansi pemerintah seperti kepolisian, Kejaksaan Agung, Bakamla dan TNI Angkatan Laut, harus terbuka koordinasinya. Sehingga kedepan tidak ada masalah dan memudahkan kerja KKP dalam mengontrol sektor kelautan di Indonesia. Keutamaannya melibatkan nelayan itu sangat penting sekali, karena mereka setiap hari dan malam melaut diseluruh perairan Indonesia. Ada baiknya, pemerintah memberikan nelayan kesempatan (tidak dibatasi), bangun komitmen dan terbuka dalam dialog secara bersama-sama memberantas ilegal fishing. Apalagi, pemerintah memiliki kemampuan untuk membekali nelayan secara lengkap alat untuk komunikasi langsung apabila ada kapal asing lakukan pencurian di perairan Indonesia. Program Hibah Kapal Hasil Ilegal Fishing untuk Kesejahteraan Maraknya, illegal fishing tidak harus dihadapi dengan metode berantas dan sekedar bombing kapal saja. Namun, ada upaya penyitaan kapal illegal fishing itu dari hasil penangkapan sehingga pemerintah bisa alihkan kapal tersebut menjadi berguna dan diberikan kepada nelayan. Karena pemerintah memiliki keterbatasan dalam patroli sehingga membutuhkan kerja sama yang baik dengan nelayan. Kedepan tidak ada lagi penenggelaman kapal dengan cara bombing. Kebijakan hasil berantas Ilegal Fishing harus fokus pada hibah dan pembinaan serta jaminan kesejahteraan nelayan. Meski begitu penenggelaman kapal bisa saja dilakukan khususnya bagi kapal-kapal yang melarikan diri saat ditindak. Sementara kapal yang berhasil ditangkap dan inkrah, bisa saja dimanfaatkan untuk nelayan. Namun, pada periode sebelumnya, orientasi berantas kapal illegal fishing, masyarakat pertanyakan konsepnya, baik dari sisi metode penangkapan, penengelaman, pengeboman maupun sumber anggaran operasional dalam melakukan operasi di laut. Mengapa? metode penangkapan dipertanyakan sebagai diskursus dalam 8 tahun ini, karena kapal yang pernah ditangkap sebelumnya, lalu ditangkap kembali pada bulan atau tahun berikutnya oleh petugas di perairan yang sama. Artinya, kerja-kerja penangkapan kapal ilegal fishing penuhi tiga unsur dugaan, yakni: pertama, gratifikasi: menangkap kapal pertama, lalu melepas dengan dugaan petugas disogok ditengah laut; Kedua, tekanan diplomasi, bisa jadi tekanan antar negara; Ketiga, bombing kapal: penghancuran terhadap kapal dengan metode bombing dilakukan hanya sebagai simbol nasionalisme semata, yang di bom itu bukan kapal yang ditangkap, tetapi kumpulkan kapal rusak dan kapasitas gross ton kecil, lalu dibawa ke tengah laut dan kemudian di bom pada hari berikutnya. Begitupun metode penenggelaman dan bombing kapal: metode ini penuh kecurigaan atas kegiatannya yang tergantung pada besaran anggaran yang dipergunakan untuk penenggelaman dan bombing itu. Apalagi ada kekhawatiran yang berlebih, kalau kapal yang tidak ditenggelamkan atau tidak dibom, akan kembali kepada yang punya lagi. Kekhawatiran ini, tidak didasarkan pada kajian yang lebih komprehensif agar bisa menempuh jalur Hibah kapal hasil penangkapan Illegal fishing. Proses penangkapan, penenggelaman dan bombing itu bukan bagian dari keputusan hukum di pengadilan, melainkan kebijakan monoton (satu alur). Kalau saja tidak dibom, bakar dan tenggelamkan, tentu berpengaruh pada lingkungan hidup karena membiarkan kapal tersebut menjadi sampah yang merusak perairan laut. Karena itu, sebaiknya pasangan AMIN (Anies-Muhaimin) tidak lagi menggunakan ulang proses bom, penenggelaman dan pembakar kapal di tengah laut. Sebab konsep tersebut bertolak belakang dengan apa yang disebut “maritim clear and economic blue” yakni konsep maritim yang bersih dan bagus. Secara politik, keputusan langsung penenggelaman dan bombing atas kapal yang ditangkap itu merupakan sebuah kegagalan pada proses berantas ilegal fishing itu sendiri. Sebaiknya kapal-kapal yang pernah ditangkap tersebut dialihkan statusnya dari kapal asing menjadi kapal nasional. Maka ada baiknya kapal tersebut dibagikan (hibah) kepada nelayan untuk mudahkan menangkap ikan dan memberi jaminan izin operasionalnya. Alih status tersebut penting daripada kapal tersebut rusak dan dibiarkan menjadi sampah. Kalau tracking keputusan pengadilan, memang tidak bisa dipaksakan agar pengadilan putuskan kapal illegal fishing untuk ditenggelamkan. Tentu, tidak ada dasar hukum bagi pengadilan untuk perintahkan ditenggelamkan dan dibom. Tetapi, putusan pengadilan lebih pada pemanfaatan terhadap kapal ilegal fishing yang telah disita negara untuk dilelang sehingga masyarakat bisa memanfaatkan kapal tersebut. Konsep baiknya agar kapal-kapal ilegal fishing itu dilelang dan dihibahkan kepada nelayan dan pengusaha untuk bisa dimanfaatkan sehingga pendapatan negara bertambah. Sekaligus hal ini tantangan tersendiri agar lebih meningkatkan pengawasan yang maksimal di wilayah perairan Indonesia.(***) Penulis: Fourbes Indonesia, Menulis dari Kantor Fourbes Indonesia Fatmawati Cipete Raya, Cilandak Jakarta Selatan Jangan lewatkan video populer: https://youtu.be/bMKUIf8AzTk?si=m3dnLQ4y_g7a6bSl
Discussion about this post