Penetapan tarif PNBP sebenarnya tidak memenuhi unsur keadilan dan kesamaan dalam usaha. Seharusnya pemerintah mentargetkan daya saing penangkapan ikan, budidaya dan industri pada sektor perikanan, bukan ada PNBP. Karena Indonesia sendiri masih tertinggal dengan negara tetangga, padahal kekayaan laut Indonesia diperkirakan US$1.338 miliar atau sekitar Rp19.133 triliun.
Faktanya di lapangan, menurut pengusaha – pengusaha kapal – kapal nelayan tuna long line di Pelabuhan Benoa Bali, ternyata memakai sistem kuota dalam menarik PNBP. Jadi, per kapal bisa hitungan 7 juta per 1 gross ton. Akhirnya, sekarang ribuan baris kapal nelayan tuna longline tidak melaut di Pelabuhan Benoa. Salah satu faktor besar yakni tidak bisa membayar PNBP.
Inilah yang membuat para nelayan, buruh pelabuhan, ibu rumah tangga nelayan tak mengepul dapurnya. Di sisi lain, upah minimum untuk awak kapal perikanan Tuna Longline tidak bisa meningkat pendapatan. Maka, penting bagi pemerintah memikirkan penetapan upah sektoral bagi buruh nelayan dan awak kapal perikanan sebagai bagian dari perlindungan.
Usaha perikanan saat ini dijepit sejumlah aturan yang berlaku. Seharusnya pemerintah berpihak kepada nelayan. Regulasi yang menjerat harus segera dievaluasi. Pemerintah sudah dikenal pemeras rakyat dengan alasan pajak. Apalagi kondisi pendemi saat ini, ruang gerak pengusaha dan nelayan itu sendiri sangat terbatas, tangkapan berkurang, pasar-pasar tidak menentu yang berdampak pada turunnya daya beli masyarakat.
PNBP Berkeadilan untuk Kesejahteraan
Paradigma pemerintah dalam memperoleh PNBP bahwa semua proses perizinan harus berbayar lebih tinggi. Padahal, proses perizinan kapal perikanan itu memang dari dulu sejak ada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah bebas dari biaya apapun, tidak ada pungutan. Mestinya, yang harus dibayarkan itu adalah jenis pungutan hasil tangkapan, bulan proses pengurusan izin.
Bila dalam perizinan kapal tangkap yang ukuran tertentu dibayarkan. Sebenarnya dari dulu kapal tangkap ukuran mulai 10 Gros Ton hingga paling besar sudah ditetapkan PNBP sesuai ukuran kapal, alat tangkap, jumlah tonnase kapal, tambat labuh, dan pajak korporasi kapal perikanan. Cuma yang tidak konsisten diatur dalam PNBP adalah jumlah tangkapan.
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kelautan – Perikanan bersumber pada bidang: penangkapan, transhipment, kapal, alat tangkap, ukuran Gross Ton kapal, ekspor, tambat labuh, sertifikasi, dan pajak retribusi yang terikat UU dan peraturan pemerintah. Selain itu, PNBP berasal dari produk perikanan, komoditas olahan, tambang yang gunakan wilayah ruang laut, pasir laut (sedimentasi), serta lainnya.
Kalau target rencana strategis pemerintah kedepan, pada sektor kelautan-perikanan ingin mendapat realisasi PNBP lebih besar, maka harus merubah proses regulasi dan rencana kebijakan. Mengapa? karena komoditas kelautan – perikanan bersifat produksi dan distribusi hasil. Jadi berdasarkan hasil tangkapan, bulan berorientasi pada pada pengurusan perizinan kapal.
Apabila penekanan PNBP pada proses hasil tangkapan yang dihitung dari jumlah hasil tangkapan nelayan dan budidaya, maka kebijakan target rencana strategis tersebut, bisa dikatakan: “memenuhi unsur keadilan yang merata dan menyamaratakan seluruh segmentasi kegiatan penangkapan ikan.”
Kedepan, pasangan AMIN untuk memenuhi unsur keadilan itu, maka harus dihapuskan PNBP yang bersumber dari proses perizinan, ukuran kapal, sertifikasi kapal dan sertifikasi pekerja. Karena, proses perizinan pusat dan daerah selama ini gratis. Namun, coldbook (fishing coldstorage) kapal tidak termasuk dalam PNBP. Coldbook ini celah dari segala pungli yang ada di seluruh syahbandar pelabuhan perikanan.
Saat ini, dampak yang dialami oleh nelayan dan pembudidaya maupun korporasi yang memiliki izin operasional atas kenaikan 300% PNBP itu, rasa-rasanya mustahil. Beratnya pembayaran PNBP yang dibebankan. Pasti yang paling sasaran nelayan kecil, menengah dan korporasi.
Apabila kapal nelayan tidak mampu bayar PNBP, maka jelas terjadi pelarangan kegiatan melaut. Begitu juga korporasi. Tentu lebih besar bayar PNBP dan pajak-pajaknya. Jika ingin meningkatkan PNBP lebih dimantapkan pada penegakan hukum, manajemen dan orientasi hasil tangkapan yang ketat.
Pasangan AMIN menilai, untuk mencapai tingkat “Adil dan Makmur serta Sejahtera,” maka orientasi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kelautan – Perikanan harus dirubah. Agenda perubahan regulasi PNBP itu diharapkan dapat entaskan kemiskinan dengan memperluas kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan kerja, mewujudkan upah berkeadilan, menjamin kemajuan ekonomi berbasis kemandirian dan pemerataan, serta mendukung korporasi Indonesia berhasil di negeri sendiri dan bertumbuh di kancah global.
Untuk mendorong keadilan hadir ditengah urat nadi nelayan dan para pelaku usaha perikanan, maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu harus dibatalkan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Mengapa? Karena UU tersebut, sistem penarikan pungutan hasil perikanan tidak pertimbangkan kondisi sosial ekonomi nelayan maupun pelaku usaha perikanan. Pasangan AMIN kedepan dapat membatalkan seluruh regulasi yang sudah diterbitkan maupun belum diterbitkan. Karena bertentangan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan, sehingga kebijakan tidak absurd di masa depan.
Peraturan seperti PP 85 tahun 2021, Kepmen 75 tahun 2021 tentang mekanisme penarikan PNBP perikanan, Kepmen 98 tentang produktivitas kapal perikanan dan Kepmen 97 tahun 2021 tentang Harga Patokan Ikan untuk Penghitungan Pungutan Hasil Perikanan memberi karpet merah pada asing untuk menguasai laut Indonesia. Jelas, bertentangan UUD 1945 dan asas keadilan dalam Pancasila.
Bagi pasangan AMIN, akan sulit terwujud keadilan ekologis berkelanjutan untuk generasi mendatang, apabila WPPNRI dan pelabuhan untuk perusahaan perikanan berskala menengah maupun besar harus miliki modal usaha besar sebagai syarat dapat kuota tangkap ikan dan membayar PNBP sistem pra/pasca bayar. Maka hal demikian, termasuk menjajah dan mencekik pengusaha dalam negeri.
Discussion about this post