Berbagai opsi optimalisasi dan perbaikan tata kelola PNBP tersebut, termasuk HPI – PHP yang berimplikasi pada kesejahteraan nelayan. Mestinya, Itu yang lebih utama. Tetapi, siapa yang bisa menjamin, bahwa peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) akan dikembalikan untuk kesejahteraan nelayan. Tentu, tak ada yang bisa jamin. Selama ini, terdapat kesalahan cara mensejahterakan nelayan melalui asuransi kesehatan dan jiwa, serta jaminan hari tua. Padahal, itu kewajiban negara memberi perlindungan dan kesejahteraan.
Evaluasi Kebijakan yang Berkeadilan
Bagi pasangan AMIN telah membaca dan mengetahui proses perubahan regulasi dalam kurun waktu setahun, ada 5 kali perubahan. Sungguh tercengang model dan cara pemerintah mengurus sektor kelautan – perikanan. Kedepan, hal ini tak boleh lagi terjadi. Harus ada kepastian hukum sebagai dasar keberlanjutan usaha distribusi hasil tangkapan nelayan.
Pasangan AMIN telah evaluasi kebijakan yang ada saat ini. Rencana penangkapan ikan terukur, yang dibatalkan (moratorium) itu sangat tidak berkeadilan. Ketimpangan terjadi dimana – mana, mulai dari regulasi yang sering berubah hingga pendekatan sangat oligarkis sekali.
Pasangan AMIN, apabila menang dalam pilpres 2024 ini, harus evaluasi sejumlah regulasi tersebut. Tentu evaluasi dan pertimbangkan jumlah produksi perikanan tangkap yang tidak sebanding dengan capaian PNBP dan PHP yang disebabkan oleh; pertama, regulasi yang memaksa bayar kewajiban PNBP maupun PHP tanpa panduan dari pemerintah. Kedua, armada penangkapan ikan skala di 30 Gross Ton kebawah masih bayar PNBP sesuai jenis dalam HPI dan PHP.
Ketiga, rumus perhitungan PNBP dan PHP belum dapat optimalkan potensi penerimaan PNBP. Keempat, implementasi operasional tata kelola HPI, PHP dan PNBP masih perlu perbaikan dan kesiapan infrastruktur pelabuhan, kapal, alat tangkap, timbangan, coldstorage, dan lainnya.
Pasangan AMIN kedepan harus kerjakan keempat tahapan evaluasi itu. Supaya harga hasil tangkapan nelayan dapat meningkat pendapatan diatas rata – rata UMP maupun UMK sehingga penuhi rasa keadilan dan kesamarataan.
Berdasarkan hasil analisis dan kajian yang dilakukan saat ini, bahwa regulasi tentang Harga Patokan Ikan (HPI) untuk penghitungan Pungutan Hasil Perikanan (PHP), terdapat Re-Solusi yang dapat diambil sebagai peluang perbaikan;
Pertama, optimalisasi pada upgrade Harga Patokan Ikan (HPI) yang saat ini masih gunakan Permendag No.13/2011 tentang Penetapan Harga Patokan Ikan. Upgrade HPI bisa lebih detail berdasarkan bagian jenis ikan.
Maka kedepan dan seterusnya, perlu lakukan updating HPI berdasarkan rata-rata harga pendaratan ikan tahun 2021, dan harga Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) tahun 2021, maka realisasi PNBP PHP tahun 2021 diperkirakan dapat menghasilkan PNBP PHP berdasarkan basis harga rata-rata pendaratan ikan tahun 2021, dan basis harga PIPP 2021), yang berarti lebih tinggi dari realisasi PNBP PHP 2019 dan 2020 yang diprediksi capai 81,12% tahun mendatang dan seterusnya.
Kedua, hitungan PNBP dan PHP yang saat ini berdasarkan produktivitas kapal mestinya dapat dimodifikasi, berdasarkan pendekatan berbasis revenue (struktur biaya) dan willingness to pay (WTP). Perlu juga dilihat pada sisi update indeks produktivitas kapal, penetapan komposisi tangkapan sesuai musim, perubahan waktu pemungutan, penetapan volume hasil tangkapan, pelayanan perijinan satu pintu di daerah dan pengenaan Resource Rent Tax (RRT).
Dari sistem kuota, pasca bayar, dan pasca produksi. Harus mengubah paradigma dan kemampuan yang diseimbangkan kesediaan pelaku usaha membayar kewajiban PNBP dan PHP sesuai besaran PNBP dan PHP dibandingkan dengan keuntungan usaha yang diperoleh pelaku usaha. Tentu dengan lakukan upgrading HPI dapat diperoleh PNBP dan PHP lebih tinggi.
Ketiga, Kepmen tersebut, lebih besar akomodir kepentingan asing dengan sistem kuota dan pasca bayar. Pelaku usaha dan pemilik kapal sangat berat membayar Rp200-500 miliiar sebagai jaminan PNBP PHP yang dibayarkan diawal saat persetujuan mendapatkan kuota yang di tentukan oleh menteri. Sehingga perlu modifikasi angka perhitungan PNBP PHP berbasis revenue (struktur biaya) dan WTP, datanya diperoleh dari hasil survey. Kedepan, pembayaran PNBP PHP di dasarkan pada kemampuan/kemauan wajib bayar dengan tetap pertimbangkan tingkat keuntungan yang diperoleh pelaku usaha.
Keempat, ketimpangan dan potensi kerugian negara dari mekanisme penarikan PNBP melalui penentuan perusahaan investasi oleh tim beauty contest yang belum transparan (sumber analisis pada Kepmen 9 tahun 2021). Karena metode penentuan dari hulu ke hilir tidak dijelaskan dalam regulasi, misalnya dana jaminan 200 – 500 miliar siapa yang menjamin keberadaan dan dipastikan transparan dan akuntabilitas (tanggung jawab) terbuka dan jujur.
Kelima, berdasarkan hasil survey terhadap responden bahwa pelaku usaha penangkapan ikan di seluruh Pelabuhan Perikanan sangat amburadul tata kelolanya. Masih perlu diperbaiki kelengkapan infrastruktur. Belum memadai hingga saat ini. Tentu, menjadi tantangan dalam optimalisasi PNBP dan PHP, sesuai besaran indeks produktivitas kapal, termasuk komposisi hasil tangkapan dan penetapan volume hasil tangkapan.
Keenam, hasil survey dan observasi Front Nelayan Indonesia (FNI) di pesisir Provinsi Bali, yang dilakukan selama satu bulan penuh, bahwa potensi jenis pungutan baru melalui sistem kuota, pasca bayar, pasca produksi tidak akan berdampak baik, karena beban skema Resources Rent Tax (RRT) sangat jauh berbeda dengan hasil tangkapan dan pemanfaatan sumberdaya ikan.
Re-Solusi untuk Nelayan yang Berkeadilan
Dari temuan diatas, yang dapat diperbaiki dalam banyak hal, yakni: pertama, perlunya penguatan kelembagaan pada koperasi dan industri perikanan, sehingga kebijakan yang dikeluarkan KKP tidak terkesan mendahului kepentingan asing dan aseng.
Kedua, aspek kebijakan yang harus menyesuaikan dengan kondisi lapangan, terutama armada kapal nelayan sehingga kebijakan yang terkait dengan PNBP dan PHP berupa regulasi tentang produktivitas kapal penangkap ikan, regulasi tentang tata cara pemungutan PNBP, PHP, dan regulasi tentang penetapan harga patokan ikan (HPI) tidak bertentangan dengan realitas masyarakat pesisir.
Ketiga, perlunya perpendek mekanisme perizinan bagi kapal-kapal negara, baik secara online maupun offline. Karena mekanisme perizinan yang terhambat, maka berakibat pada lambatnya produktivitas kapal nelayan. Keempat, mencegah terjadinya blass of data (perbaikan pendataan data base) karena hampir seluruh TPI terkadang data itu tidak sesuai realitas hitungan hasil perikanan pada saat pendaratan ikan. Sehingga indikator penentuan MSY pun mengalami masalah.
Kelima, penting kedepan agar dihentikan cara – cara culas menghitung dan mengukur Gross Ton Kapal nelayan, hanya cukup panjang kali lebar. Di lapangan banyak terjadi mafia pengukuran kapal perikanan, yang memainkan peran ganda. Selain mengurus dan juga memeras nelayan. Jadi, tidak boleh lagi menghitung hasil penangkapan ikan melalui cara – cara yang kurang baik.
Keenam, potensi kerugian negara ada pada tata kelola pengawasan perairan laut dan pengenaan Resource Rent Tax (RRT). Terkadang, kurang pengawasan, membuat celah illegal fishing itu marak. Begitu juga, RRT yang harus hati-hati dan selektif sesuai ketentuan yang ada.
Karena itu, bagi pasangan AMIN hal ini merupakan peluang, sekaligus tantangan transparansi penarikan, pemungutan dan penerimaan negara. Apakah kedepan mampu konsolidasikan seluruh stakeholder, investasi dan koperasi dengan prasyarat permodalan yang besar.(***)
Penulis: Fourbes Indonesia, Menulis dari Kantor Fourbes Fatmawati Cipete Raya, Cilandak Jakarta Selatan
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post