“Data yang diperoleh BKKBN, selama pandemi Covid-19, pernikahan dini di Jawa Barat jumlahnya mengalami peningkatan. Padahal perkawinan usia dini menyebabkan tingginya risiko kematian ibu dan bayi yang dilahirkan serta bayi yang stunting karena ketidakcukupan nutrisi selama kehamilan,” jelas Hasto.
Stunting yakni kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi, infeksi berulang, dan stimulasi lingkungan yg kurang mendukung. Kondisi ini berefek jangka panjang hingga lanjut usia. Stunting berdampak sangat buruk bagi masa depan anak-anak.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan BKKBN, hingga saat ini satu dari empat balita di Indonesia mengalami stunting. Bahkan ada 21,9 juta keluarga dari 66,4 juta keluarga di Indonesia yang berisiko stunting. Karena itu Hasto mengajak masyarakat untuk membuang jauh pola pikir “banyak anak itu banyak rejeki”.
“Kondisi saat ini sangat berbeda dengan dahulu. Sekarang kalau banyak anak maka banyak masalah,” kata Hasto.
Provinsi Jabar menurut data di BKKBN memiliki TFR (total fertility rate) tertinggi di Indonesia. Karena itu Hasto berharap Pemerintah Provinsi Jawa Barat terus mempertahankan dukungannya terhadap Penyuluh KB non-PNS.
Hasto menjelaskan, masyarakat perlu memperbarui paradigma tentang KB (keluarga berencana).
“Masyarakat jangan hanya berpikir kalau KB itu kaitannya dengan alat kontrasepsi. Masyarakat harus berpikir bahwa KB adalah perencanaan keluarga dan juga perencanaan masa depan anak-anak,” jelas Hasto.
Discussion about this post