Oh ya, sekadar catatan, medali dari tingkat Madrasah Aliyah itu dua duanya diraih siswa MAN Insan Cendikia Kendari, sekolah yang belum setahun ditinggalkan putri saya, sebagai alumni.
Jelang magrib tadi, saya menghubungi Kepala MIS Al Istiqamah, Tapuhaka di Kabaena. Namanya Ibu Susida. Ada gelar S.Si di belakang namanya. Ia girang bukan main, saat tahu anak didiknya itu bisa naik podium.
“Pak, jangan mi dia juara tiga, saat dia menang dan juara se Sultra saja, luar biasa senangnya kami. Apalagi, sekarang dia malah dapat perunggu di tingkat nasional, jangan tanya perasaanku. Bangga sekali saya Pak,” katanya. Saya mendengar suaranya agak tertahan, mungkin menahan haru.
Wajar bila Susida semringah. Di Kabaena, hanya sekolahnya yang berstatus MI, itupun swasta. Berdiri sejak tahun 2013 dan hanya satu-satunya, tidak berarti ia mudah menggaet siswa. Faktanya, saat ini hanya ada 58 murid yang ia urus. Dari kelas 1-6.
“Syukur mi tahun ini ada 10 orang siswa baruku Pak, pernah itu hanya 2 orang. Tapi ternyata sekarang kami bisa buktikan, bahwa anak didik kami bisa berprestasi nasional,” tukas Susida.
Refin memang salah satu anak di sekolahnya yang prestasinya menonjol. Sejak kelas 1, selalu menyabet peringkat pertama. Ia sangat aktif, dan menunjukan diri punya kelebihan akademis. Kala ada informasi soal kompetisi sains madrasah itu, ia tertarik mengikutkan Refin. Sayangnya, sekolahnya tak punya perangkat komputer.
“Soalnya lombanya kan pakai komputer pak, karena daring. Jadi, awalnya kita bingung,” kisah Susida, yang juga guru honorer di MTS.
Untung saja, MTS di Dongkala, kampung tetangga Tapuhaka, mau membantu. Mereka meminjamkan perangkat itu untuk Refin belajar sekaligus ikut lomba.
“Nanti pi mau ikut lomba Refin, baru anak itu kenalan dengan komputer. Tapi saya kagum karena dia segera bisa beradaptasi, bahkan menang dari kabupaten hingga provinsi,” imbuh perempuan itu.
Jangan sampai Refin dibantu saat jawab soal-soal makanya menang?
Discussion about this post