Ia berharap program-program BKKBN bisa dikolaborasikan dengan program kementerian/lembaga lainnya seperti kegiatan dapur sehat atasi stunting di lapangan bisa di kolaborasikan dengan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dari Kementrian Kesehatan.
“Rekomendasi hasil monev diharapkan bisa mengerucut untuk dijadikan sebagai landasan penetapan strategi kedepan dan pentingnya keterlibatan dari sektor-sektor terkait seperti para akademisi,” kata dia.
6 Poin Masalah
Pakar Gizi Universitas Hasanuddin Prof. Abdul Razak Thaha yang juga hadir memberikan masukan terkait monev ini. Ia mengungkapkan 6 poin permasalahan dalam monitoring dan evaluasi pada program percepatan penurunan stunting di Indonesia.
Pertama adalah Indikator yang tidak tepat. Penggunaan indikator yang tidak tepat dapat menyebabkan ketidakakuratan dalam keberhasilan program, misalnya menggunakan indikator berat badan sebagai pengukuran langsung penurunan stunting. Padahal, stunting terkait dengan tinggi badan anak.
“Tidak hanya itu, sejak 2013 sampai sekarang, program yang kita andalkan untuk mengatasi terjadinya anemia itu adalah program tablet tambah darah (TTD). Namun walaupun berdasarkan profil kesehatan nasional tahun 2013-2016 cakupan TTD selalu 90%, pada tahun 2018 anemia tidak turun melainkan naik dari 30% menjadi 40% lebih, sehingga menjadi 1 diantara 2 ibu hamil di Indonesia ini menderita anemia. Ternyata cakupan yang 90% itu tablet yang dikonsumsi oleh ibu hamil dengan catatan ibu hamil baru ada gunanya mengonsumsi tablet tambah darah minimal 90 tablet, ternyata itu cuma 7,9%,” beber Razak Thaha.
Kedua, adanya Keterbatasan data dan sistem informasi. Ketiga, kurangnya kapasitas tim monev, tim yang kurang berpengalaman atau tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang metode dan instrumen penelitian dapat memengaruhi validitas dan kehandalan hasil evaluasi.
Keempat, tantangan dalam mengukur dampak jangka panjang, ini menjadi soal besar karena stunting ini dampaknya dampak jangka panjang.
Discussion about this post