Itulah kenapa, memilih seseorang untuk jadi redaktur/editor itu tidak asal tunjuk. Hanya karena sudah lima bulan jadi wartawan, pindah ke media lain, dikasih pekerjaan jadi redaktur atau editor.
Padahal, pengetahuan kebahasaannya minim, belum pandai mengutak-atik kalimat hingga terbaca menarik termasuk yang paling parah, memberi judul sebuah tulisan tapi kaidah bahasanya mirip cara bicaranya Vicky Prasetyo.
Seorang redaktur punya tanggungjawab lebih. Ia serupa chef di dapur restoran yang meracik aneka menu agar enak di lidah konsumen.
Baik buruknya produk jurnalistik, sebagian besar karena piawainya editor/redaktur dalam meramu kata-kata. Biar wartawan di lapangan menulis apapun, bila redakturnya menganggap itu tidak layak atau kurang memadai, ya tentu saja tidak akan pernah jadi bacaan.
Hanya saja, risiko wartawan dicaci itu sama kadarnya dengan saat mereka dipuji. Para pejabat misalnya, yang kegiatannya terpublikasi dan dikemas dengan kata-kata yang baik, bahkan cenderung memuji akan menyampaikan apresiasinya ke wartawan.
“Bagus lagi beritamu hari ini bosku..!” sembari mengajak sang jurnalis untuk ngopi, misalnya.
Ia tak pernah tahu, ada redaktur yang berkeringat, memeras otak dan berdarah-darah di balik komputer kantor demi mengolah tulisan itu agar terlihat menarik dan layak dibaca. Editornya yang susah payah, wartawannya yang dapat “terima kasih”. Tapi begitu tulisan itu jelek, wartawannya juga kena caci.
“Bukan begitu saya tulis kemarin, nda tahu juga itu redakturku kenapa yang muncul begini,” kalimat yang kerap jadi andalan para jurnalis.
Di awal saya bilang bahwa 75 persen kesalahan sebuah produk jurnalistik tidaklah pantas dibebankan pada wartawan karena ini adalah produk bersama. Bila ada kesalahan, wartawan itu hanya boleh “diadili” secara internal karena gara-gara tulisannya yang menyesatkan, semua kena getah.
Ada editor yang mengolah dan pemimpin redaksinya yang menilai patut terbit. Lalu 25 persennya apa?
25 persen itu adalah media yang didirikan satu orang. Dia yang jadi wartawannya, dia editornya, dia yang unggah di portal beritanya, kadang dia juga tertulis sebagai pemimpin redaksi.
Modalnya hanya beli hosting dan domain, jadilah medianya. Nama medianya pun kadang bikin keder. Mirip-mirip pagere-gere.com. Media yang pemainnya solo karir itu ada di sekitar kita.
Tidak semua, tapi banyak…!.(***)
Penulis: Penyuka Kopi
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post