Artinya apa? Tulisan yang anda baca dalam sebuah portal berita atau terbitan koran tidak lagi menjadi tanggungjawab wartawan yang menulisnya bila ada yang keliru. Itu sudah produk lembaga atau media yang bersangkutan.
Secara hukum, pemimpin redaksilah yang bertanggungjawab atau setidaknya, editor/redakturnya yang layak disalahkan karena justru ia yang gagal melakukan proses filter.
Wartawan di lapangan adalah organ yang disuruh oleh medianya. Harusnya, sebelum diterbitkan, editor/redaktur bisa mengklarifikasi kembali ke jurnalis, menanyakan bila ada kekurangannya atau bahkan memintanya mengonfirmasi ulang ke sumber.
Begitu hierarki bekerja di lembaga media massa. Setidaknya, sampai saya meninggalkan hingar bingar media massa, empat tahun silam. Mungkin sekarang sudah berubah.
View this post on Instagram
Itulah kenapa, memilih seseorang untuk jadi redaktur/editor itu tidak asal tunjuk. Hanya karena sudah lima bulan jadi wartawan, pindah ke media lain, dikasih pekerjaan jadi redaktur atau editor.
Padahal, pengetahuan kebahasaannya minim, belum pandai mengutak-atik kalimat hingga terbaca menarik termasuk yang paling parah, memberi judul sebuah tulisan tapi kaidah bahasanya mirip cara bicaranya Vicky Prasetyo.
Seorang redaktur punya tanggungjawab lebih. Ia serupa chef di dapur restoran yang meracik aneka menu agar enak di lidah konsumen.
Baik buruknya produk jurnalistik, sebagian besar karena piawainya editor/redaktur dalam meramu kata-kata. Biar wartawan di lapangan menulis apapun, bila redakturnya menganggap itu tidak layak atau kurang memadai, ya tentu saja tidak akan pernah jadi bacaan.
Hanya saja, risiko wartawan dicaci itu sama kadarnya dengan saat mereka dipuji. Para pejabat misalnya, yang kegiatannya terpublikasi dan dikemas dengan kata-kata yang baik, bahkan cenderung memuji akan menyampaikan apresiasinya ke wartawan.
“Bagus lagi beritamu hari ini bosku..!” sembari mengajak sang jurnalis untuk ngopi, misalnya.
Discussion about this post