Oleh: Khaziyah Naflah
Moral generasi saat ini kian hari kian memprihatinkan. Baru-baru ini beredar sebuah vidio viral di media sosial, beberapa pelajar Sekolah Menengah Atas (SMP) melakukan bullying hingga salah satu dari mereka menendang lansia hingga terjungkal.
Diketahui para pelaku merupakan para pelajar dari Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara. Diketahui para pelajar tersebut berjumlah enam orang yang telah diamankan polisi terkait kasus ini. Saat diperiksa polisi, mereka mengaku iseng saat menendang korban. Sungguh miris. Seorang pelajar berani melakukan bullying kepada orang tua yang harusnya dihormati dan dilindungi.
Disisi lain, ada kasus perundungan yang juga dilakukan oleh para pelajar hingga membuat korban koma, bahkan meninggal. Seperti kasus bullying di Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, seorang siswa SD berinisial MWF (7) menjadi korban perundungan (bully). Perundungan terhadap korban ternyata sudah berulangkali terjadi hingga akhirnya dia dipalak dan ditendang berkali-kali hingga korban mengalami koma (24/11/2022).
Kasus bullying yang dilakukan para generasi bagaikan fenomena gunung es. Dimana kelihatan kecil, namun sejatinya masih banyak di bawah kasus-kasus lainnya. Hal ini terlihat kian hari kasusnya kian meningkat, sebagaimana Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya temuan kasus perundungan yang semakin meningkat kisaran 30-60 kasus per tahun. Bahkan, Indonesia menduduki peringkat kelima dalam kasus perundungan (chatnews.com, 22/11/2022). Sungguh miris.
Ini semakin membuktikan gagalnya sistem pendidikan kapitalisme saat ini dalam mencetak generasi yang berakhlak mulia, dan memiliki kepribadian yang baik, serta memiliki jiwa sosial yang tinggi. Walaupun pemerintah menerapkan pendidikan karakter untuk menjadi salah satu solusi untuk memperbaiki akhlak generasi, namun nyatanya hal tersebut belum mampu menjawab semua problem moral generasi yang kian amburadul.
Tak sampai disitu, oleh pihak sekolah kasus bullying juga terkadang hanya mendapat penyelesaian mediasi antara pelaku dan korban, yang membuat ketidakadilan bagi korban bullying. Selain itu, terkadang sekolah pun cenderung menyembunyikan kasus bullying yang terjadi.
Fakta ini jelas kontradiksi dengan program sekolah ramah anak yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat dan menyenangkan di lingkungan sekolah. Menyembunyikan kasus bullying mengindikasi ketidaksiapan sekolah terhadap program SRA.
Inilah potret buruk sistem pendidikan kapitalisme, tujuan pendidikannya hanya fokus menciptakan generasi-generasi yang berprofit pada materi semata. Selain itu juga, asas pendidikan saat ini adalah sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan yang membuat generasi semakin jauh dari norma-norma agama dan menghasilkan generasi yang labil, tidak mampu mengontrol emosi, serta hanya berupaya mengejar kesenangan dunia tanpa menghiraukan halal dan haram.
Selain itu, penguasa juga mengajak keluarga dan masyarakat untuk bersinergi bersama-sama membantu mengatasi bullying dengan cara mendampingi tumbuh kembang anak-anak dan menanamkan moral yang baik kepada generasi, serta bekerja sama dengan satuan pendidikan untuk bersama-sama mengembangkan budaya anti-kekerasan.
Namun di saat keluarga dirangkul untuk mendampingi tumbuh kembang anak menjadi pribadi yang baik, di sisi lain keluarga secara tidak langsung juga dituntut untuk meninggalkan si buah dan membiarkan mereka tumbuh seadanya tanpa pendampingan yang cukup dari orang tua, terkhusus ibu karena faktor ekonomi.
Kita pahami bahwa sistem ekonomi kapitalis telah membuat rakyat menderita akibat semua biaya kehidupan yang kian berat dan lepasnya tangung jawab negara sebagai periayah rakyat yang hanya berfungsi sebagai regulator semata, hingga akhirnya tak sedikit seorang ibu terjun ke lapangan untuk membantu perekonomian keluarga guna bertahan hidup. Alhasil, tumbuh kembang anak terabaikan.
Discussion about this post