Selain senior director CAJ, Bob Iskandar dikenal sebagai ‘jembatan penghubung’ tidak resmi di balik kerjasama wartawan lintas negara dalam berbagi informasi dan berbagi pengalaman seputar jurnalistik kelas dunia.
Kamis terakhir di penghujung September, Saya bersama si Bungsu Rahmat Mauliadi menaiki lift ke lantai IV Gedung PWI Pusat Jakarta. Suasana di sana lengang. Saya buru-buru mencari ruang yang bisa salat Ashar. Mushalla lantai dasar sedang direnovasi satu paket dengan renovasi gedung Dewan Pers. Matahari bersinar keras menembus ruangan kaca mati itu.
Seperti biasa, begitu melihat sosok Saya, Ngatidjo sang office boy PWI ini langsung menyajikan secangkir kopi panas. Elly dan Ceu Tati, dua sosok karyawan ‘usang’ yang tersisa di gedung ini menghampiri Saya.
Sekilas terlintas sosok orang membelangi dinding kaca yang silau itu. Saya tak peduli orang yang sedang tekun menunduk terus ke alas mejanya. Rambutnya ikal agak panjang. Kesan Saya tidak serapu dulu lagilah. Bodynya pun tak sekekar dulu lagi.
Balik dari toilet, Saya masuk lagi ke ruang tengah. Dari pojok itu terdengar nada panggilan. Yang dipanggilnya menyapa dengan lembut.
“Ada apa pak Bob, panggil Saya ya”, tanya Elly. Saya pun langsung tersentak, dan balik arah. Padahal sudah ketika itu sedang melangkah pulang. Rupanya sosok yang tak Kuhiraukan tadi itu DR. H. Bob Iskandar sahabat lama ketika sering mondar mandir mengikuti kegiatan di luar negeri.
Biasanya kalau ketemu Saya, Bob langsung heboh memanggil nama Mister Adnan atau menyebut Aceh saja, begitu. Biasanya berikutnya pasti Cipika-Cipiki, lalu minta bubuk kopi Aceh.
Petang itu Saya ikut terperangah melihatnya menulis sesuatu di atas lembaran kertas lebar dengan hand lettering (tulis tangan) menggunakan bolpen parker kesayangannya.
Dalam hati, Saya bergumang, dasar “kuli tinta” tak pernah absen dari buih tintanya sejak tempo doeloe.
Si Sulung Rahmat pun mendekat dan “pret, pret, pret”. Begitu bunyi jepretan kamera saku hand phonenya. Dia terheran-heran.
“Hari gini, masih ada wartawan menulis dengan tangan?, ujarnya berbisik. Aksara katanya yang ditorehnya ini memang sangat rapi. Anda bisa melihatnya saat dipaparkan di depan jurnalis dunia di Bali pekan ini.
Meski era revolusioner Industri 4.O mengharuskan kita semua menerapan teknologi modern, tapi berbeda dengan Bob yang satu ini, belum tergusur zaman dan masih aktif menulis menggunakan pena pada secarik kertas. Jumlahnya lumayan banyak pula. Apakah ini disebut budaya atau kebiasaan, yang tak lapuk tersiram hujan dan tak lekang diterjang panas teriknya matahari? Wallahualam bissawab.
Naskah sajian bertulisan tangannya sambung menyambung dan sebagian lagi berhuruf kapital. Semua berkas tulisan tangan ini dipersiapkan dalam rangka pertemuan ke 20 Confederation Of ASEAN Journalists di Bali.
“Saya sengaja mempersiapkan seluruh bahan persidangan, buku panduan, kehadiran peserta dari berbagai Negara Asean. Tidak hanya itu, juga sudah melakukan koordinasi dan berkonsultasi langsung dengan Mr. President CAJ Thepchai Yong, dari Bangkok” sebut Bob Iskandar kepada penulis petang itu. Bob kini sedang sibuk untuk persiapan peanugerahan gelar profesor Maret 2023 mendatang. Insya Allah.
Persiapan matang dan komplit sejak tiga bulan lalu, walaupun nanti keputusan terakhir tentu pimpinan PWI hanya membaca dalam waktu singkat saja, katanya dengan nada merendah. Tugas lain juga harus dimonitornya, jumlah peserta, copy paspor dan berbagai administrasi kecil lainnya dari A hingga Z. Tujuannya agar tamu asing jangan sampai kecewa.
Begitupun, berbekal pengalaman dalam hubungan luar negeri sudah puluhan tahun, mengantarkan jejak Bob mampu menghandle persoalan demi persoalan dengan jelimet. Semoga event di Bali ini memberikan kontribusi positif kepada internal PWI di mata dunia luar, sehingga nama Indonesia penuh pesona ikut diekspose pers asing, baik yang berada di Kawasan ASEAN, Asia Selatan, Asia Pasifik hingga sejagad dunia.
Kita tahu sejarah berdirinya CAJ untuk memajukan kehidupan jurnalisme dan meningkatkan kehidupan pers yang bebas dan bertanggung jawab serta mempererat hubungan internal para wartawan ASEAN.
Selain itu, tentu diharapkan bisa mempererat interaksi positif organisasi pers di seluruh penjuru dunia, agar tercipta saling pengertian dan kerjasama lebih kental lagi antar sesama insan pers itu sendiri.
Jika tak silap, gagasan pendirian CAJ ini muncul pada awal 1970-an diprakarsai para tokoh pers senior. Mereka berharap melalui berbagai media yang ada di lingkungan masing-masing negara ASEAN mampu menyumbangkan berbagai pemikiran serta gagasan kepada para pendiri perhimpunan bangsa-bangsa ASEAN.
Tujuannya agar kawasan Asia Tenggara ini bebas dari pengaruh maupun rivalitas perang dingin saat itu. Untuk itu melalui kiprah para wartawan serta medianya di wilayah ini perlu dirajut jalinan kerjasama, konsultasi untuk terwujudnya suasana perdamaian di antara hati dan pikiran warga masyarakat sesama antar Asia Tenggara.
Adapun anggota organisasi wartawan yang terhimpun di dalamnya: Persatuan Wartawan Indonesia (PWI/Indonesian Journalists Association), National Union of Journalists’ Malaysia (NUJM), National Press Club of the Philippines (NPC), Singapore National Union of Journalists (SNUJ), Confederation of Thai Journalists (CTJ), Vietnam Journalists Association (VJA), Laos Journalists Association (LJA).(***)
Penulis: Mantan Ketua PWI Aceh Periode 2000-2005, Mantan Pengurus PWI Pusat
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post