Oleh: Rusdianto Samawa
Calon Presiden Anies Baswedan yang diusung oleh Koalisi Perubahan membawa visi misi Indonesia 2045 yang mengandung unsur-unsur penting yang penting agar menjadi catatan rakyat Indonesia. Visi misi tersebut, komitmen entaskan seluruh masalah yang dianggap emergency atas kegagalan rezim saat ini.
Visi misi Indonesia 2045 pasangan AMIN mulai dari kinerja pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) per kapita, pengangguran hingga penuntasan kemiskinan ekstrem. Visi misi tersebut, lebih ditekankan kepada kemakmuran yang dirasakan seluruh penduduk Tanah Air. Oleh karena itu, ketimpangan harus menjadi fokus yang selama ini rezim gagal total tuntaskan. Ketimpangan sangat nyata yang kita hadapi dan menjadi PR sesungguhnya.
Pasangan AMIN (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) juga menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia belum berhasil menyelesaikan masalah pengangguran. Seperti diketahui, ekonomi Indonesia tumbuh dikisaran 5% selama 7 kuartal beruntun. Namun, jumlah pengangguran masih cukup tinggi. Adapun, BPS mencatat jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,99 juta orang pada Februari 2023, berkurang sekitar 410 ribu orang dibanding Februari 2022.
Ditengah merosotnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan negara, polemik pengangguran dan kemiskinan ekstrem belum juga usai dibahas. Hal ini sangat bahayakan kedaulatan negara. Pemerintah berbohong kepada rakyat yang munculkan indeks kemiskinan ekstrem yang diklaim tinggal 2% atau sekitar 1,6 juta penduduk.
Jumlah tersebut, mayoritas masyarakat pesisir. Upaya pengentasan kemiskinan di pesisir itu, langkah mendasar untuk menetapkan Indonesia masuk kategori Midle Income trap. Pemerintah umumkan keberhasilannya dari 2020-2023 menurunkan kemiskinan ekstrem. Padahal kebohongan besar. Diketahui angka kemiskinan saat ini sebesar 9,36%.
Sebenarnya, pengumuman indeks menurunnya kemiskinan ekstrem supaya pemerintah diakui kinerjanya. Padahal, dibalik itu, kemiskinan tak ada yang menurun. Bahkan semakin naik. Bertumbuhnya kemiskinan ekstrem ditandai oleh faktor-faktor distribusi (suplay change), industri, dan pasar (market) serta tingkat konsumsi semakin tinggi, sementara pendapatan makin merosot. Selain itu, populasi penduduk semakin bertambah.
Laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) bersama ASEAN dan China, mengenai Pembiayaan Pembangunan Berkelanjutan, diperkirakan 36 juta orang di Asia Tenggara masih hidup di bawah garis kemiskinan, dimana 90 persennya tinggal di Indonesia dan Filipina. Diantara 36 juta orang itu, 76 % berasal dari masyarakat pesisir (nelayan) dan pekerja industri perikanan.
Menurut laporan itu, kemiskinan ekstrem di Asia Tenggara turun dari 17 persen pada 2005 menjadi 7 persen tahun 2013. Pada 2018 lalu masih stagnan, hanya turun sekitar 2 %. Tetapi banyak kaum miskin nelayan (masyarakat pesisir) yang bekerja tetap rentan di garis kemiskinan. Pada tahun 2020 hingga 2022 justru kemiskinan bertambah sekitar 11,5% di Asia Tenggara. Ketajaman naik seiring peningkatan wabah virus Covid yang melanda seluruh dunia.
Riset independen Maret 2022 dari Asian Development Bank (ADB) laporkan bahwa ekonomi dunia, khusus di Asia Tenggara mengalami rontok usai ‘terinfeksi’ pandemi Covid-19. ADB paparkan sebanyak 4,7 juta masyarakat di Asia Tenggara terjerumus ke zona kemiskinan paling ekstrem dalam dua tahun terakhir gegara Covid-19 sehingga menyebabkan ketidaksetaraan itu tergerus. Kemiskinan itu meningkat di kalangan perempuan, buruh migran, nelayan, buruh industri perikanan, pekerja muda, dan lansia di Asia Tenggara.
Selain angka kemiskinan ekstrem yang bertambah 4,7 juta selama pandemi. Juga ada sekitar 9,3 juta orang kehilangan pekerjaan di Asia Tenggara sepanjang 2021 dan belum pulih pada 2022 akhir dari pandemi. Sebagian dari mereka adalah pekerja yang tidak memiliki keterampilan khusus, tenaga kerja perempuan di sektor ritel dan informal, serta usaha kecil yang tidak mampu memanfaatkan pasar online. Lebih ekstrem lagi buruh industri perikanan tidak lagi bisa bekerja secara total seperti semula.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Maret 2017-2020, jumlah penduduk miskin di Indonesia yakni penduduk yang pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan capai 27,77 juta orang atau 10,64 persen dari total penduduk. Pada 2021 meningkat angka kemiskinan ekstrem di Indonesia setelah dilanda krisis pandemi covid-19.
Data yang terupdate tahun 2021 di 35 Kabupaten di 7 Provinsi dengan 24 Kabupaten diantaranya berada di wilayah pesisir. Pada tahun 2022, pemerintah perluas cakupan kemiskinan ekstrem di 212 Kabupaten dan Kota di 25 Provinsi dengan 147 Kabupaten dan Kota sama dengan 69,34 persen berada di wilayah pesisir.
Pada Desember 2022 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 26,36 juta orang atau sebesar 9,57% pada September 2022. Angka ini naik 0,03% atau 0,20 juta orang dari data bulan Maret 2022. Pada tahun 2023 hanya turun 0,01 %. Kebalikan yang disampaikan pemerintah bahwa tahun 2023 tinggal 1% populasi penduduk miskin ekstrem. Inilah Hoaksnya pemerintah. Akibat tidak transparannya kinerja dalam peran menurunkan kemiskinan.
Bisa jadi akibat kebijakan yang merugikan masyarakat pesisir, seperti PP 26 tahun 2023, PP 23 tahun 2022 dan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) memungkinkan bertambahnya rakyat miskin ekstrem di pesisir karena pola distribusi hasil perikanan tidak merata, industri perusahaan perikanan tidak bertanggung jawab penuh dan terjadinya gap sosial ekonomi di masyarakat antara nelayan kecil dengan nelayan besar.
Kalau Indonesia ingin masuk ada taraf middle income trap, maka harus diatasi dengan menaikkan level of growth ekonomi melalui produktivitas faktor kapital dengan inovasi dan efesiensi, salah satunya dengan hilirisasi sumber daya alam (SDA) dan transformasi sektor industri di berbagai bidang termasuk sektor pariwisata serta upaya pengendalian inflasi menggunakan instrumen fiskal dan nonfiskal, penghapusan kemiskinan ekstrem, penurunan prevalensi stunting, dan peningkatan investasi serta upaya meningkatkan akselerasi pembangunan infrastruktur, juga penguatan anggaran prioritas dalam rangka mendukung transformasi ekonomi.
Menurut Faisal Yusuf dalam tulisannya “Indonesia Harus Keluar dari Ancaman Middle Income Trap bahwa Indonesia perlu terapkan reformasi struktural yang tepat dengan pemberdayaan sektor manufaktur jangka panjang.
Indonesia juga, harus genjot pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6 persen pada 2040 agar terhindar dari middle income trap tersebut. Reformasi struktural menjadi kunci keberhasilan transformasi ekonomi berkelanjutan. Reformasi struktural merupakan seperangkat tindakan yang mengubah struktur ekonomi.
Menurut Kiki Verico, 2021, Global Pandemic 2020 Indonesia Output Gap and Income Trap Scenario, LPEM-FEB UI Working Paper, bahwa kebijakan reformasi, mengubah kerangka kelembagaan, serta kerangka peraturan untuk perkuat agen sosial ekonomi yang membentuk wilayah (negara, keluarga, dan perusahaan) beroperasi.
Discussion about this post