Keempat, atau sudah tidak adakah walau sedikit saja penghargaan dan penghormatan kepada suku Moronene yang negerinya tempat mereka mencari makan bahkan hingga sebagian sudah ada yang jadi pejabat, pengusaha dan anggota dewan?
Kelima, sebagai kaum terpelajar, hendaknya anggota dewan memahami kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat, norma dan etika, sehingga jika merumuskan produk hukum yang berkaitan dengan seni dan budaya wajib melibatkan para stakeholder (para pihak) yang kompeten, sehingga produk yang dihasilkan dapat diterima masyarakat luas.
Selain itu, hendaknya para pengusul, memperbanyak referensi hal serupa. Di Jakarta, dengan segala kemajemukan etnis, tetap saja seni dan budaya Betawi yang mendapat perhatian pemerintah untuk pelestarian seni dan budayanya, padahal jumlah mereka minoritas.
Di Kota Kendari, semua nama kampung, nama jalan, kelurahan/kecamatan menggunakan nama daerah Tolaki. Ornamen bangunan, motif pakaian, tarian-tarian penyambutan, upacara adat semua menggunakan adat istiadat suku Tolaki.
Oleh karena itu, jika pembahasan ini terus berlanjut, secara nyata telah menyerang harkat dan martabat dan eksistensi suku Moronene, sehingga berpotensi menciptakan ketegangan bahkan bisa terjadi konflik sosial.
Untuk hal tersebut diatas, dengan ini kami menyatakan: pertama, mendesak pembahasan Raperda Pelestarian Seni dan Budaya dibatalkan, hingga judul Raperda nya berubah menjadi Pelestarian Seni dan Budaya Moronene.
Discussion about this post