Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Nusantara, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur terus menunjukkan kemajuan. Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, memastikan bahwa progres pembangunan IKN telah mencapai 12% (pertengahan Mei 2023).
Kemudian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan secara resmi logo IKN, yang bertema pohon hayat (30/5/2023). Maka seperti direncanakan semula, bahwa pada semester-I tahun 2024, presiden serta beberapa kementerian dan lembaga sudah berkantor di Nusantara. Sehingga keinginan Presiden Jokowi untuk menggelar upacara peringatan HUT RI ke-79 (17/8/2024), sepertinya dapat diwujudkan.
Pemindahan IKN sejatinya tidak hanya sekedar melanjutkan dan mewujudkan keinginan Presiden RI pertama, Soekarno. Akan tetapi, perkembangan Indonesia saat ini membutuhkan penataan yang lebih strategis. Sehingga ditemukan beberapa alasan utama pemindahan, yakni: Pertama, bahwa pemindahan bertujuan mengurangi beban Jakarta dan Jabodetabek.
Kedua, bahwa harus ada upaya pemerataan pembangunan ke wilayah Indonesia bagian tengah dan timur. Ketiga, bahwa harus ada perubahan mindset pembangunan dari Jawa Centris menjadi Indonesia Centris.
Keempat, bahwa Indonesia harus memiliki ibu kota negara yang merepresentasikan identitas bangsa, kebhinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila. Kelima, bahwa harus ada perubahan untuk meningkatkan pengelolaan pemerintah pusat yang efisien dan efektif.
Keenam, bahwa Indonesia harus memiliki ibu kota yang menerapkan konsep smart, green, and beautiful city untuk meningkatkan kemampuan daya saing (competitiveness ) secara regional maupun internasional.
Momentum pemindahan IKN tersebut, bersamaan dengan peralihan kepemimpinan nasional. DPR/DPD RI dan Presiden hasil Pemilu 2024 akan dilantik pada Oktober 2024, dan diharapkan dilantik di IKN. Sehingga kepemimpinan nasional akan memulai pekerjaannya dari IKN.
Komitmen Presiden Jokowi membangun kesadaran Indonesia Centris tentu menarik dalam momentum demokrasi Pemilu 2024 ini. Sehingga jika Presiden Jokowi mengatakan akan “cawe-cawe”, maka tindakan tersebut berkaitan dengan urusan keberlanjutan dan kesinambungan program strategis, termasuk soal IKN.
Sejumlah nama yang muncul sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden saat ini didominasi oleh tokoh-tokoh politik nasional. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah (2013-2023), menjadi satu-satunya tokoh politik daerah yang tampil sebagai Capres. Namun sebagai tokoh politik yang berasal dari pulau Jawa, Ganjar Pranowo harus didampingi Cawapres dari luar pulau Jawa.
Dalam sejarah pergerakan pemuda (Sumpah Pemuda 1928), perjuangan kemerdekaan, hingga menjadi negara merdeka dan memiliki presiden dan wakil presiden, keterwakilan nusantara menjadi konsensus bersama. Kepemimpinan Nasional pertama, yakni Soekarno dari Jawa, Mohammad Hatta dari Sumatra.
Rancangan tersebut sebagai hasil dari percakapan dan perenungan panjang para pendiri bangsa Indonesia. Maka “konsensus nasional kebangsaan” itu harus dilanjutkan. Catatan sejarah bangsa ini mencatat kesinambungan dan keberlanjutan konsensus tersebut.
Di masa Orde Baru pun, Presiden Soeharto, yang berasal dari Jawa, memilih Adam Malik, asal Sumatra dan Baharuddin Jusuf Habibie, asal Sulawesi sebagai Wakil Presiden.
Kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, yang berasal dari Jawa didampingi oleh Wakil Presiden Hamzah Haz, yang berasal dari Kalimantan. Sementara itu periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan periode pertama Presiden Joko Widodo yang sama-sama berasal dari Jawa, didampingi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang berasal dari Sulawesi.
Discussion about this post