Kedua, bahwa Denny dan SBY mengenal dan paham betul karakter dan kualitas elit politik nasional. Keduanya juga paham menggunakan twitter sebagai platform digital dalam memengaruhi opini publik. Sehingga keduanya mampu berbagi peran dalam cuitan, kapan saling memuji, kapan saling membagi, dan kapan jalan sendiri-sendiri.
Ketiga, bahwa Denny menuding Presiden Jokowi “cawe-cawe dalam sengketa Partai Demokrat antara kubu Jend. TNI (Purn) Moeldoko dengan kubu Mayor TNI (Purn) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang saat ini dalam tahap peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI).
Demikian juga cuitan terbaru Denny tentang skenario penetapan Anies Rasyid Baswedan (ARB) sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) untuk menjegalnya maju di Pilpres 2024.
Cuitan-cuitan Denny tersebut sebagai upaya “cari perhatian” baik bagi diri sendiri, maupun untuk kepentingan kelompok politiknya. Provokasi Denny dalam rangka mendegradasi kepemimpinan Presiden Jokowi sekaligus strategi “playing victim”.
Sebagai pendukung ARB, Denny akan terus membuat cuitan “kontroversi” untuk memancing reaksi sehingga Denny dan ARB akan mendapat perhatian dan simpati publik. Sebab Denny masih yakin bahwa strategi utama menang di Pilpres bagi calon yang tidak memiliki prestasi adalah dengan menjadikannya sebagai pihak yang “dizalimi”.
Keempat, bahwa hingga saat ini belum ada satu bakal calon presiden (bacapres) yang menyampaikan ide, gagasan, dan program politiknya kepada publik. Semua bacapres masih “normatif” sekedar menyampaikan himbauan, saran agar pendukungnya mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Menghindari hoaks dan ujaran kebencian.
Semua bacapres berusaha menghindari “pertengkaran politik”. Padahal pertengkaran politik sebuah keniscayaan dalam kontestasi demokrasi. Akibatnya rumor, gosip, dan kabar burung yang disampaikan lewat cuitan oleh Denny akhirnya menjadi bahan perbincangan di ruang publik. Sebab ruang yang seharusnya diisi oleh pertengkaran ide, gagasan, dan program politik dibiarkan kering dan kosong oleh bacapres dan Parpol.
Kelima, bahwa meski sudah jauh hari diumumkan sebagai bacapres, hingga saat ini para kandidat belum mampu memutuskan bakal calon wakil presiden (bacawapres) masing-masing. Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun bacapres yang kuat. Kubu pemerintah pasrah menanti pilihan dan dukungan akhir Jokowi, sedang kubu lainnya gelisah menebak satu nama yang ada di kantong ARB.
Kelemahan para bacapres akan membuat penentuan cawapres alot, panjang, dan akan saling menunggu. Saat ini justru posisi bacawapres makin strategis karena sebagai penentu kemenangan. Akibatnya Pilpres 2024 akan sangat tergantung pada figur capres dan cawapres.
Terkait narasi keberlanjutan dan kesinambungan versus narasi perubahan hingga saat ini masih dalam bentuk proposal kosong, belum jelas, dan bahkan tim perumus dan penyusunnya belum dibentuk.
Discussion about this post