Hubungan rokok dengan stunting menurut Teguh bermula dari bagaimana perokok membelanjakan uang di keluarganya. Kepala keluarga yang merokok, memprioritaskan uangnya untuk belanja rokok dibandingkan untuk kesejahteraan keluarga.
Bahkan ketika mendapatkan bantuan sosial untuk pemerintah, ternyata digunakan juga untuk merokok. Teguh menyebutkan bahwa secara rata-rata merokok lebih banyak dibanding dengan yang bukan penerima bantuan sosial.
“Penelitian ini kami lakukan dengan mengikuti 7.000 lebih data orang tua dan anak selama puluhan tahun yang diperoleh dari Indonesia Family Life Survey 2018, ditambah dengan penelitian langsung yang kami lakukan di Demak Jawa Tengah. Dari situlah kami mendapati bahwa orang tua yang merokok, cenderung anaknya stunting,” ungkap Teguh.
Hubungan rokok dengan stunting menurut Teguh memprihatinkan, karena yang dibakar oleh para perokok bukan hanya uang pribadi maupun uang pemerintah. Tapi perokok juga berpotensi membakar masa depan anak bahkan sejak ia belum lahir. Karena selain masalah gizi akibat perokok memprioritaskan membeli rokok dibanding makanan untuk keluarga, perokok juga mengekspos ibu hamil sebagai perokok pasif.
“Bahkan ketika anak tumbuh dewasa, daripada untuk anaknya sekolah, uang malah digunakan untuk beli rokok. Saat turun langsung meneliti di Demak, saya terenyuh sekali melihat kondisi anak-anak yang mengalami stunting hanya karena keputusan orang tua yang tidak rasional memikirkan diri sendiri dibandingkan anaknya. Kenapa bisa ada orang yang tidak rasional seperti itu? Karena rokok mengandung zat adiktif!,” jelas Teguh atas penelitiannya bersama tim di UI yang juga telah dipublikasikan di berbagai jurnal internasional terkemuka.
Harapan Dekan FEB UI
Melalui viralnya penelitian hubungan rokok dan stunting, Teguh berharap masyarakat luas dapat memahami filosofi kenapa cukai rokok perlu dinaikkan. Yaitu: bahwa dengan harga rokok semakin mahal, maka semakin orang tidak mau beli rokok.
Discussion about this post