PENASULTRA.ID, JAKARTA – Permohonan uji materiil (judicial review) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers berpotensi menimbulkan kekacauan dalam penyelenggaraan Pers dan hilangnya kepastian hukum baik organisasi Pers sendiri maupun masyarakat (publik) secara luas.
Pendapat tersebut disampaikan Ketua Dewan Pers Muh. Nuh di hadapan Majelis Konstitusi Republik Indonesia, Selasa 9 November 2021.
Sebagai pihak terkait, Muh. Nuh menyampaikan keterangan dalam permohonan pengujian materiil ketentuan pasal 15 ayat (2) huruf f dan pasal 15 ayat (5) undang-undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap ketentuan pasal 28, pasal 28C ayat (2), pasal 28D ayat (1), dan pasal 28I ayat (2) dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kuasa hukum Dewan Pers membacakan keterangannya setebal 33 halaman dalam persidangan kasus Permohonan Uji Materiil 38/PUU-XIX/2021 yang dihadiri dan diawali pengantar oleh Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh dan dibacakan Wina Armada Sukardi, Frans Lakaseru, serta Dyah Aryani selaku kuasa hukum ditunjuk oleh Dewan Pers.
Menjawab dalil para pemohon, Ketua Dewan Pers Muh. Nuh menyatakan secara gramatikal norma-norma yang termuat pada seluruh pasal UU Pers 40/1999 termasuk pasal 15 ayat (2) huruf f pemaknaannya telah jelas, tidak multitafsir apalagi sumir sehingga dalil pemohon menyatakan Dewan Pers memonopoli pembentukan semua peraturan dan memiliki kewenangan serta mengambil alih peran organisasi Pers menyusun peraturan di bidang Pers adalah tidak berdasar sama sekali.
Serta sebagai kesesatan berpikir dan kekeliruan pemahaman para pemohon pada UU Pers 40 tahun 1999, mulai dari sejarah penyusunannya hingga norma-norma dalam UU Pers 40 tahun 1999.
“Berdasarkan asas swa-regulasi sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, penyusunan terhadap aturan di bidang Pers yang dibutuhkan dan diusulkan oleh organisasi Pers dengan dasar pertimbangan memenuhi kebutuhan adanya aturan, panduan dan pedoman tertentu, kepastian hukum dalam penyelenggaraan kemerdekaan Pers, dan meningkatkan kehidupan Pers serta dapat berdampak kepada masyarakat luas (publik), dilaksanakan sesuai dengan fungsi Dewan Pers dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers No 40/1999, yakni difasilitasi oleh Dewan Pers,” kata Muh. Nuh dalam rilisnya.
Selanjutnya, tambah dia, tindakan Dewan Pers memfasilitasi, memberi dukungan kemudahan, sarana dan prasarana bagi organisasi Pers dalam menyusun aturan di bidang Pers dilakukan dengan cara, mendiskusikan dan membahas secara simultan hingga diperoleh hasil akhir berupa konsensus atau kesepakatan bersama terhadap penyusunan atas aturan di bidang Pers tersebut, memformalkan dan mengesahkan hasil akhir atas penyusunan aturan di bidang Pers tersebut dalam bentuk peraturan Dewan Pers.
“Contoh nyata penyusunan swa-regulasi ini dapat dilihat di dalam Kode Etik Jurnalistik, Kode Perilaku Wartawan, Standar Kompetensi Wartawan, Standar Perusahaan Pers, Standar Organisasi Perusahaan Pers, dan lain-lain,” ujar dia.
View this post on Instagram
Dengan demikian, sambung dia, sangat jelas bahwa yang menjadi substansi persoalan para pemohon adalah bukan pada fungsi dari pihak terkait Dewan Pers sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (2) huruf f UU Pers 40/1999 yaitu memfasilitasi organisasi Pers dalam menyusun peraturan di bidang Pers, tetapi pada ketidaksukaan dan/atau ketidakmauan dan/atau ketidaksetujuan para pemohon bahwa Dewan Pers atas kesepakatan/konsensus bersama organisasi Pers memformalkan hasil akhir dari penyusunan peraturan di bidang Pers oleh organisasi Pers dalam bentuk peraturan Dewan Pers.
Dewan Pers menyampaikan bahwa dalil para pemohon yang menyatakan Pasal 15 ayat (5) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers telah menghambat perwujudan kemerdekaan pers dan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum serta bersifat diskriminatif karena Presiden tidak mengeluarkan Surat keputusan bagi organisasi yang mereka dirikan, sehingga Presiden telah menghambat kemerdekaan Pers itu sendiri merupakan tuduhan keji yang tidak berdasar dan menunjukan kesesatan pola pikir serta ketidaktahuan atau ketidakpahaman para pemohon dalam memahami norma-norma yang ada di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Apabila Presiden menanggapi dan merespons keinginan para pemohon untuk menerbitkan Keputusan Presiden sebagaimana uraian permohonan diatas, maka Presiden justru berpotensi melanggar Undang-Undang Pers karena telah jelas dari sisi nomenklatur penamaan, tidak ada penamaan lain selain Dewan Pers. Dan Undang-Undang Pers tidak mengenal dan tidak menyebutkan adanya nomenklatur penamaan lain selain Dewan Pers. Sehingga apabila ada pihak-pihak yang menamakan dirinya dan menyerupai penamaan Dewan Pers seperti Dewan Pers Indonesia, Dewan Pers Independen, dan sebagainya adalah bukan merupakan amanat dari undang-undang Pers,” bebernya.
Selanjutnya, masih kata dia, Dewan Pers menyampaikan keanggotaan Dewan Pers tidak muncul seketika, namun merupakan keberlanjutan dan satu kesatuan dari sejarah serta peristiwa hukum yang panjang yaitu merupakan peralihan dari Dewan Pers pada masa Orde Baru yang didasarkan pada Undang-Undang Pers pada masa Orde Baru. Kemudian pasca reformasi digantikan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang melahirkan Keputusan Presiden No 96/M Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pers Periode Tahun 2000- 2003 sampai dengan saat ini, yaitu melalui Keputusan Presiden Nomor 33/M Tahun 2019 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pers Periode 2019-2022.
Dewan Pers juga menjawab pertanyaan dari Majelis Hakim Konstitusi yang disampaikan dalam persidangan sebelumnya, terkait dengan Pendataan di Dewan Pers, yaitu mendata perusahaan Pers menjadi salah satu fungsi dari Dewan Pers, di mana saat ini terdapat 1.678 perusahaan Pers yang meliputi Pers cetak dan Pers elektronik yang telah dilakukan pendataan dan hasil pendataan tersebut dimuat pada laman resmi Dewan Pers https://dewanpers.or.id/data/perusahaanpers yang dengan mudah dapat diakses oleh publik.
Discussion about this post