Dengan demikian, sambung dia, sangat jelas bahwa yang menjadi substansi persoalan para pemohon adalah bukan pada fungsi dari pihak terkait Dewan Pers sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (2) huruf f UU Pers 40/1999 yaitu memfasilitasi organisasi Pers dalam menyusun peraturan di bidang Pers, tetapi pada ketidaksukaan dan/atau ketidakmauan dan/atau ketidaksetujuan para pemohon bahwa Dewan Pers atas kesepakatan/konsensus bersama organisasi Pers memformalkan hasil akhir dari penyusunan peraturan di bidang Pers oleh organisasi Pers dalam bentuk peraturan Dewan Pers.
Dewan Pers menyampaikan bahwa dalil para pemohon yang menyatakan Pasal 15 ayat (5) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers telah menghambat perwujudan kemerdekaan pers dan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum serta bersifat diskriminatif karena Presiden tidak mengeluarkan Surat keputusan bagi organisasi yang mereka dirikan, sehingga Presiden telah menghambat kemerdekaan Pers itu sendiri merupakan tuduhan keji yang tidak berdasar dan menunjukan kesesatan pola pikir serta ketidaktahuan atau ketidakpahaman para pemohon dalam memahami norma-norma yang ada di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Apabila Presiden menanggapi dan merespons keinginan para pemohon untuk menerbitkan Keputusan Presiden sebagaimana uraian permohonan diatas, maka Presiden justru berpotensi melanggar Undang-Undang Pers karena telah jelas dari sisi nomenklatur penamaan, tidak ada penamaan lain selain Dewan Pers. Dan Undang-Undang Pers tidak mengenal dan tidak menyebutkan adanya nomenklatur penamaan lain selain Dewan Pers. Sehingga apabila ada pihak-pihak yang menamakan dirinya dan menyerupai penamaan Dewan Pers seperti Dewan Pers Indonesia, Dewan Pers Independen, dan sebagainya adalah bukan merupakan amanat dari undang-undang Pers,” bebernya.
Selanjutnya, masih kata dia, Dewan Pers menyampaikan keanggotaan Dewan Pers tidak muncul seketika, namun merupakan keberlanjutan dan satu kesatuan dari sejarah serta peristiwa hukum yang panjang yaitu merupakan peralihan dari Dewan Pers pada masa Orde Baru yang didasarkan pada Undang-Undang Pers pada masa Orde Baru. Kemudian pasca reformasi digantikan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang melahirkan Keputusan Presiden No 96/M Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pers Periode Tahun 2000- 2003 sampai dengan saat ini, yaitu melalui Keputusan Presiden Nomor 33/M Tahun 2019 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pers Periode 2019-2022.
Dewan Pers juga menjawab pertanyaan dari Majelis Hakim Konstitusi yang disampaikan dalam persidangan sebelumnya, terkait dengan Pendataan di Dewan Pers, yaitu mendata perusahaan Pers menjadi salah satu fungsi dari Dewan Pers, di mana saat ini terdapat 1.678 perusahaan Pers yang meliputi Pers cetak dan Pers elektronik yang telah dilakukan pendataan dan hasil pendataan tersebut dimuat pada laman resmi Dewan Pers https://dewanpers.or.id/data/perusahaanpers yang dengan mudah dapat diakses oleh publik.
“Dalam tataran teknis, pendataan Perusahaan Pers yang dilakukan Dewan Pers tak sebatas mencatat, namun melakukan verifikasi yakni memeriksa, meneliti, mencocokan, dan membuktikan secara faktual dokumen-dokumen yang dimiliki perusahaan Pers dengan poin-poin standardisasi perusahaan Pers,” tuturnya.
Adapun filosofi pendataan yang dilakukan oleh Dewan Pers untuk menegakan profesionalitas guna mewujudkan kemerdekaan Pers, sehingga menghasilkan jurnalisme profesional sekaligus menjadi penegak pilar demokrasi.
Dewan Pers juga menjawab pertanyaan lain yang disampaikan Majelis Hakim Konstitusi terkait keunggulan dan kelebihan agar Pers Indonesia dan Dewan Pers menjadi garda terdepan di dalam rangka jurnalistik yaitu dalam rangka menjaga dan melindungi kemerdekaan Pers dan mewujudkan Pers yang profesional, Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan Pers. Fungsi ini dilakukan oleh Dewan Pers dalam rangka mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
Dari pengaduan masyarakat tersebut, Dewan Pers akan menilai apakah dalam pemberitaan atau karya jurnalistik yang diterbitkan oleh suatu media atau perusahaan Pers terdapat pelanggaran atas kode etik jurnalistik atau tidak.
“Jika fungsi ini tidak dijalankan oleh Dewan Pers maka akan menimbulkan efek negatif berupa ketidakpercayaan masyarakat luas (publik) terkait produk jurnalistik yang profesional. Sehingga berpotensi mencederai kemerdekaan Pers dan berpotensi terancam serta tercabut, karena berbagai pengaduan masyarakat yang berhubungan dengan pemberitaan Pers diselesaikan melalui mekanisme dan jalur hukum baik perdata maupun pidana,” ulasnya.
Dewan Pers selalu berupaya mengembangkan kemerdekaan Pers dan meningkatkan kehidupan Pers nasional, dengan secara aktif dan positif bekerjasama dengan pihak lain di luar masyarakat Pers.
Discussion about this post