<strong>PENASULTRA.ID, MEDAN</strong> - Prof Dr Nina Herlina MS yang merupakan guru besar Ilmu Sejarah Unpad mengatakan dirinya sudah selama 18 tahun menjadi pribadi yang selalu mengusulkan seseorang menjadi pahlawan nasional. "Saya sudah berhasil menggolkan 8 pahlawan nasional asal Jabar dan 3 dari luar Jawa, siapakah yang sebenarnya saya usulkan, RM Adi Suryo dari Jateng dan Rohana Kudus dari Sumbar. Kemensos minta tolong agar ada calon pahlawan nasional yang datang dari luar Jawa," tutur Nina Herlina saat menjadi pembicara di seminar Seruan Pers Dari Sumatera Utara yang diadakan di Ball Room Hotel Grand Mercure Medan, Selasa 7 Februari 2023. Nina juga menyebut nama Tirto Adhie Soerjo yang merupakan pionir pers nasional, dikatakannya Tirto punya keberanian khusus, berkali kali ditangkap Belanda dan dibuang, sampai kakinya dirantai. Penderitaan yang luar biasa sampai tidak kuat dan meninggal. Rohana Kudus, dikatakannya merupakan pelopor pers perempuan. "Dia membuat koran Sunting Melayu, nama tersebut sengaja untuk mengecoh Belanda, padahal maksudnya menyunting kebijakan pemerintah kolonial. Rohana tidak sampai ditangkap, dan statusnya saat diajukan menjadi pahlawan nasional, belum gol, yang jelas kedua tokoh ini memperjuangkan kebebasan pers selama zaman kolonial Hindia Belanda," jelasnya. Sementara itu, pembicara lainnya, Dr Phil Ichwan Azhari, sejarahwan dan ahli Filologi Indonesia juga menyoroti peran besar di dunia pers seorang Dja Endar Moeda. "Mohon maaf Tirto belakangan datang. Lebih dulu, Dja Endar Moeda adalah bapak pers yang sesungguhnya. Mungkin jika Tirto bapak pers, nah, Dja Endar Moeda adalah kakeknya pers Indonesia, tapi kan kita tidak mengenal istilah itu," selorohnya. Dijelaskannya, bila melihat fakta-fakta di dalam pameran pers di HPN 2023 akan dibandingkan Tirto dan Dja Endar Moeda yang lahir 1861, sedangkan Tirto 1880. "Dja Endar Moeda di tahun 1887 sudah menjadi redaktur di koran Pertja Barat Sumbar. Dja Endar Moeda tahun 1900 sudah memiliki surat kabar. Kemudian kena delik pers, diusir dari Sumbar dan hengkang ke Sibolga mendirikan koran lagi. Kemudian dapat delik pers kena hukuman cambuk diusir dari Sumbar, dia lalu ke Aceh, bikin koran Pemberita Atjeh," kata Phil Ichwan Azhari. Dikatakan, salah satu kejutan di HPN 2023 nanti akan ada tiga koran yang pernah ada di Sumatera Utara yang ditemukan di kota Leiden akan ditampilkan di pameran pers HPN 2023. Ichwan juga mengangkat keberadaan Tuan Manullang yang juga tokoh pers di era penjajahan kolonial, bahkan disebut sebagai pemimpin redaksi termuda saat usianya 19 tahun. Melalui karya pers, melawan pendudukan kolonial Belanda. Sementara itu, pembicara lainnya, Wanofri Samry yang merupakan Sejarawan Universitas Andalas Padang menjelaskan asal kata Indonesia. Diakuinya, kata Indonesia berawal dari Indu-Nesians yang diberikan oleh George Samuel Windsor Eral pada sekitar tahun 1850. "Indu-Nesians mengacu pada konsep etnografis yaitu masyarakat yang menghuni Kepulauan Hindia," tutur Wanofri. Eral dijelaskan Wanofri tidak puas dengan konsep itu maka ia menamakan masyarakat di kepulauan di Indonesia dengan 'Melayunesians'. "Kata 'Indonesia' justru dipopulerkan oleh James Logan dalam artikelnya 'The Ethnology Of The Indian Archipelago: Embracingenquiries Into The Continental Relation Of The Indo Pacificleaders' yang dimuat dalam Journal Of The Indian Archipelago And Eastern (JIAEA No 4 1850)," urainya. Penggunaan ini diikuti oleh para antropologi ET Hamy (Prancis 1877). AH Keane (1880) dan juga oleh linguis NB Dennys (inggris, 1880). Dua tahun setelah itu diikuti oleh pegawai pemerintahan kolonial Inggris, sir william Edwar Maxwell. Kata Indonesia digunakan oleh Adolf Bastian (Jerman, 1884-94). Sedangkan Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menyoroti masalah keselamatan para wartawan yang dinilainya masih saja ada yang mendapat kekerasan akibat dari berita yang dibuatnya. <strong>Editor: Ridho Achmed</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/btie5KHCnrM
Discussion about this post