<strong>Oleh: Teti Ummu Alif</strong> Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali memunculkan kontroversi terkait rencana anggaran Rp48,7 miliar untuk pengadaan gorden rumah dinas anggota DPR dan Rp11 miliar untuk pengaspalan kompleks parlemen (<em>tirto.id</em> 30/03/2022). Tak ayal, langkah lembaga yang dipimpin Puan Maharani itu menuai kritik dari publik. Partai parlemen dan non parlemen pun seakan satu suara dalam melontarkan kritik terhadap rencana tersebut. Sekjen PAN sekaligus Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno memandang penggantian gorden tidak diperlukan. Ia menilai anggaran tersebut sebaiknya difokuskan untuk rakyat. Sebab, agenda pengaspalan belum diperlukan dan masih bisa ditunda. Hal senada, disampaikan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Menurut Juru Bicara PSI Furqan AMC, tindakan DPR tersebut dinilai tidak mengedepankan kepentingan rakyat. Anggaran tersebut lebih baik untuk memperbaiki sekolah ambruk di SDN Ciheleut 1 dan 2, Kota Bogor atau untuk kebutuhan pokok (<em>tirto.id</em> 29/03). Di sisi lain, Sekretariat Jenderal DPR RI menjawab alasan anggaran pengadaan gorden dan pengaspalan dimasukkan dalam tahun anggaran 2022. Sekjen DPR Indra Iskandar mengaku, mereka berniat memasukkan anggaran pergantian gorden sejak 2009, tetapi tidak kunjung terealisasi. Padahal, tidak sedikit gorden rumah anggota DPR yang perlu diganti. Sudah menjadi rahasia umum jika berbagai fasilitas mewah memang senantiasa melingkupi kehidupan anggota DPR mulai dari rumah jabatan, tunjangan, hingga kunjungan kerja. Tentu masih lekat di benak kita seberapa fantastisnya gaji para anggota DPR yang di beberkan oleh salah satu artis merangkap wakil rakyat. Ia secara blak-blakan membuka jumlah gaji yang diterima anggota DPR, yaitu gaji pokok (Rp16 juta), tunjangan bulanan (Rp59 juta), dana aspirasi sebanyak 5 kali dalam setahun (Rp450 juta), serta dana kunjungan dapil (Rp140 juta setahun). Masih kurang apa lagi? Wajar jika berbagai pihak mengkritik DPR karena anggaran sebanyak itu benar-benar melukai hati rakyat. Pasalnya, gaji dan fasilitas begitu tinggi, tetapi kinerja tidak sesuai dengan harapan. Para wakil rakyat itu mestinya malu kepada rakyat yang mereka wakili. Sebab, yang mereka nikmati saat ini sejatinya berasal dari pajak rakyat. Jangan seperti kacang yang lupa kulitnya. Hendaknya, DPR benar-benar mewakili suara rakyat, tetapi fakta yang terjadi justru sebaliknya. Ketika rakyat menolak UU Cipta Kerja, mereka malah mengesahkannya. Ketika rakyat ingin harga-harga bahan pokok turun, mereka tidak sepenuh hati menyuarakannya pada penguasa. Kalaupun ada yang memihak kepentingan rakyat, jumlahnya minoritas. Pantaslah bila banyak sindiran dan kritik tajam untuk para anggota dewan terhormat. Mereka seyogianya, bisa sedikit bersimpati pada masyarakat. Mengingat kondisi ekonomi yang kian sulit. Harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, sedang pendapatan semakin merosot. Jika dicermati, hidup sederhana bukanlah ciri khas dalam sistem kapitalis sekuler. Karena sistem ini memang mengajarkan gaya hidup hedonis dan konsumtif. Tidak terkecuali para pejabat negara. Mereka merasa harus mendapat kemudahan sarana dan prasarana selama menjabat amanah sebagai wakil rakyat. Sangat berbanding terbalik dengan gaya dan pola hidup para pemimpin dan pejabat pada masa sistem Islam. Dimana, mereka lebih banyak hidup sederhana dan hemat. Apalagi jika kita menyebut sosok manusia mulia yaitu Rasulullah SAW. Kehidupan beliau dan para sahabatnya sungguh jauh dari segala kemewahan. Dalam aturan Islam, rakyat adalah pihak yang wajib dilayani. Sedangkan, pemimpin dan pejabat adalah pihak yang melayani. Hal ini berkebalikan di sistem demokrasi kapitalistik, malah rakyat yang melayani penguasa dan pejabatnya. Pejabat hanya bisa membuat susah rakyat dengan kebijakan dan UU yang dihasilkan, juga hanya memihak kepentingan pemodal. Sehingga, sangat sulit menemukan sosok penguasa yang betul-betul peduli dan berempati pada rakyatnya. Sungguh kesederhanaan para penguasa dimasa keemasan Islam bukanlah bualan semata. Lihat saja sepanjang menjadi khalifah, Umar bin Khaththab hanya memiliki dua baju sederhana yang dipakai secara bergantian. Ia bahkan tidak mau memakan makanan enak pada saat rakyatnya sedang kelaparan. Begitu juga dengan Ali bin Abi Thalib. Seorang pemimpin yang dikenal bijaksana, sederhana, dan adil dalam bertindak. Akan tetapi, pada hari raya makanan yang tersedia di rumahnya hanya makanan rakyat kecil berupa hidangan daging rebus bercampur tepung (al-khazirah). Pun, potret kesederhanaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang tidak mau menggunakan uang negara sekadar untuk membeli makanan bagi dirinya sendiri. Itulah sekelumit potret pejabat yang senantiasa taat pada Allah dan Rasul-Nya. Selalu berhati-hati mengemban amanah. Sayangnya, pejabat model ini tidak akan kita temukan dalam sistem hari ini. Kecuali negeri kita menerapkan Islam kaffah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Wallahua'lam bisshowwab<strong>.(***)</strong> <strong>Penulis: Pemerhati Masalah Umat</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://www.youtube.com/watch?v=oPZj98jH0KQ
Discussion about this post