Pada 1915, Margono menikahi Siti Katoemi Wirodihardjo dan dikaruniai lima orang anak. Mereka adalah Soemitro, Soekartini, Miniati, Subianto, dan Sujono. Sayangnya, Subianto dan Sujono termasuk orang-orang yang gugur dalam pertempuran Lengkong bersama Daan Mogot.
Setelah menjabat di kantor Kejaksaan Cilacap, Margono naik jabatan sebagai pegawai dinas di Madiun. Pada 1930, Margono pindah tugas di Malang, kemudian ke Jakarta tak lama setelahnya. Ia bekerja di kantor besar Algemene Volkscredietbank.
Kinerja Margono yang semakin membaik membuat dia dikirim ke Belanda pada 1937 oleh Kementerian Urusan Jajahan. Di sana Margono bekerja dengan mempelajari laporan dari pemerintahan Hindia Belanda.
Setelah beberapa waktu di Belanda, Departemen Urusan Ekonomi Hindia Belanda memintanya pulang ke Indonesia akibat keterbatasan tenaga. Dia kemudian bekerja di Departemen Urusan Ekonomi hingga Indonesia diduduki oleh Jepang pada 1942.
Begitu Indonesia merdeka pada 1945, Margono mendapat mandat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung atau DPA yang tugasnya membantu memberikan nasihat kepada presiden dan wakil presiden. Tahun berikutnya, Margono ingin membantu menyelesaikan masalah ekonomi negara dengan membentuk Bank Negara Indonesia (BNI).
Awalnya kantor utama bank BNI ada di Jakarta, namun akibat situasi genting ketika ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta, kantor Bank BNI juga sempat dipindah ke sana.
Selain mendirikan BNI, Margono juga turut menjadi perwakilan untuk diplomasi pengakuan de facto untuk Indonesia. Ia menjadi salah satu perwakilan Konferensi Meja Bundar atau KMB. Margono juga membentuk Yayasan Hatta, yang berfungsi untuk memberikan biaya pendidikan kepada para pemuda.
Pada 25 Juli 1978, kakek dari Presiden Prabowo Subianto itu meninggal di Jakarta. Margono dimakamkan di pemakaman keluarga di Dawuhan, Banyumas, Jawa Tengah.
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post