<strong>Oleh: Hendry Ch Bangun</strong> Saya tertarik dengan bantahan rekan Marah Sakti Siregar, atas tulisan senior Dahlan Iskan pada 2 Desember 2022 lalu, tentang RUU Kesehatan yang di dalamnya ada sepotong kalimat “dunia wartawan praktis sudah kehilangan kontrol itu. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sudah tidak bisa lagi mengontrol wartawan. Dunia jurnalistik sekarang ini hancur.” Maksudnya, terkait dengan fungsi kontrol pers yang seperti sudah tidak ada lagi. Tulisan itu berjudul “Omnibus Lagi” berisi keheranan Dahlan Iskan karena naskahnya sudah beredar luas di masyakat, demo organisasi profesi keseharan sudah dilakukan di Jakarta dan berbagai daerah, isinya ada yang dianggap kontroversial ada pula yang menilai berisi terobosan, tetapi tidak jelas siapa inisiatornya. Untuk yang terakhir ini, karena draft juga berisi studi contoh UU di beberapa negara, lengkap, diduga buatan organisasi tandingan profesi dokter, PDSI (Persatuan Dokter Seluruh Indonesia), yang ingin mengurangi monopoli Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ah itu bukan urusan kita sebenarnya, tokh ada beberapa organisasi wartawan setelah PWI tidak lagi jadi organisasi tunggal, dan semuanya baik-baik saja. Marah Sakti yang kini menjadi Analis Komisi Pendidikan Dewan Pers, menilai frasa “dunia jurnalistik sekarang ini hancur” terlalu berlebihan. Dia menganggap pernyataan Dahlan Iskan dapat “mematahkan semangat para wartawan, institusi media, organisasi wartawan, termasuk Dewan Pers yang masih terus berjuang menegakkan marwah dan good journalism. Kegiatan jurnalistik jelas masih ada dan eksis, Abah DIS…” Saya kutip lanjutan kalimatnya “Memang harus diakui di sana sini ada penurunan mutu dan pengaruh sebagai alat kontrol sosial yang kredibel. Tapi itu semua yang harus kita—komunitas pers—benahi dan perbaiki. Don’t kill journalism dan journalists.” Menurut saya bantahan Marah Sakti terjadi karena ada kata “hancur”, pada “dunia jurnalistik, yang sebenarnya hiperbolis. Kata “hancur” dalam KBBI bermakna “pecah menjadi kecil-kecil, remuk”; lalu “tidak tampak lagi wujudnya”; “rusak, binasa”; “sangat sedih” ini berkaitan dengan hati, perasaan. Kata itu mungkin seperti menyakitkan, dan dia mengakui memang pers saat ini sudah tidak seperti dulu, menurun mutunya, menurun pula pengaruhnya di masyarakat. Gaya hiperbola merupakan bagian dari permainan kata yang lazim dilakukan, entah itu di kalimat lisan seperti pidato atau kampanye, maupun tulisan di buku dan di media massa. Walaupun kadang karena miskin kosa kata, penggunaannya tidak tepat makna. Kalimat, “Indonesia dijajah 350 tahun” sudah terpatri di kepala kita, meskipun kita sudah lulus kuliah dan tahu bahwa faktanya, penjajahan Belanda di negeri ini tidak selama itu. Sementara berita olahraga dengan judul “Jerman Hancurkan Portugal 4-2” saat juara bertahan itu kalah di Piala Eropa 2020 tahun 2021 lalu, lazim saja. Keluar lapangan, pemain Portugal sehat-sehat saja, mereka hanya lebih sedikit memasukkan bola ke gawang lawan dan disebut kalah. Kembali ke awal, apakah pers kita sudah “hancur”? Saya kira memang tidak, kalau dilihat dari 4 makna yang ada di KBBI. Menurun fungsi kontrolnya, memang betul. Sekarang ini medsos lebih diperhatikan. Polisi lebih cepat bertindak atas kasus yang viral di medsos, ketimbang dimuat di media massa. Kasus SDN I Pondok Cina Depok, yang hendak digusur karena akan dibangun masjid, langsung ditanggapi Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Dia ingin agar kasusnya selesai dulu, baru dilakukan pembangunan, tidak ada batas waktu. Kalau tidak viral, mungkin gedung di Jalan Margonda itu sudah rata dengan tanah. Dulu Gubernur Ali Sadikin, setiap pagi sarapan koran-koran utama Jakarta sebelum melakukan kegiatan. Kalau ada masalah yang harus dia tindaklanjuti, langsung turun ke lapangan. Sekarang tinggal cek apa yang sedang ramai dibahas, entah di Twitter, Instagram, atau Tiktok, pejabat di pusat dan daerah sudah tahu, apakah ada persoalan yang harus dia selesaikan. Media televisi, media siber, apalagi suratkabar, tinggal menjadi pelengkap, pemanis. Perubahan perilaku di masyarakat dan perkembangan teknologi informasi, adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah. Ditambah semakin sedikitnya pendapatan dari iklan—apalagi distribusi—membuat media massa khususnya media cetak semakin tersudut, sulit menjalankan perannya dengan penuh. Banyak yang curiga media massa besar, terpaksa kompromi di sana-sini, dengan berbagai cara, agar dapat bertahan hidup. Tetapi kalau kata “hancur” yang dituliskan Dahlan Iskan itu dipandang sebagai peringatan, ya tidak apa-apa juga, untuk menunjukkan ada masalah serius, penting, yang harus diselesaikan oleh masyarakat pers. Saya tidak melihat bahwa tulisan itu dimaksudkan sebagai membunuh jurnalisme dan jurnalis. Kita semua melihat dengan mata kepala sendiri kok, penurunan kualitas benar-benar terjadi, di seluruh 34 provinsi, di semua platform, dan mencakup tidak hanya media kecil tetapi juga media bermodal besar. <strong>***</strong> Saya suka menelusuri berita di media siber melalui Google. Saya memperhatikan media CNBC sering menggunakan kata “kiamat” di judulnya. Misalnya “’Kiamat’ Uang Kertas Beneran Nyata, BI Ungkap Ramalan Baru”, juga “‘Kiamat’ Baru Melanda Malaysia, RI Bisa Menjadi Penyelamat”, “’Kiamat’ Smartphone di Depan Mata, Bill Gates Ungkap Gantinya”. Apakah reporter atau editornya pernah membuka Kamus Bahasa Indonesia? Kiamat di KBBI ada 4 makna, “hari kebangkitan sesudah mati”; “hari akhir zaman”; “tidak akan muncul lagi”; “celaka sekali”, “bencana besar”, “rusak binasa”. Dari sisi etimologi, kiamat adalah kebangkitan dari alam kubur. Terlihat bahwa penggunakan kata kiamat, berlebihan, kurang tidak tepat maknanya apalagi ini adalah berita ekonomi. Apakah maksudnya untuk mencari perhatian, silakan saja demi klikbait. Tetapi yang tampak adalah ketidakmampuan untuk mendapatkan istilah yang lebih baik dan lebih pantas. Kecuali itu berita mistik yang dimuat media murahan. Ada lagi media siber berselera rendah, yang tidak memerhatikan keadaban sosial masyarakat pembacanya. Ini saya temukan di Hops.id, yang membuat judul “15 Tahun Diperkosa Mantan Ardi Bakrie Ini Jadi Janda di Usia 17 Karena Kelainan Seksual Pangeran Malaysia”, “Disetubuhi di Usia 15 Tahun, Manohara Akhirnya Ungkap Identitas Putrinya? Netizen: Anaknya Cantik Ya.” Judul-judul di atas mengingatkan kita pada “koran kuning” di era media cetak, yang konon sering dibaca bapak-bapak di kantor tetapi lalu dibuang, karena takut terbawa pulang karena isinya yang jorok dan tidak mendidik. Ketika sekarang akses internet dan kepemilikan ponsel sudah mencakup anak usia dini atau pelajar Sekolah Dasar, apakah judul seperti ini pantas dibiarkan? Pers penjaga moral malah jadi perusak moral. Pers sekarang juga banyak malas menjalankan profesinya dengar benar, cukup puas dengan suplai berita dari instansi yang memberikan informasi “press klaar”, artinya siap muat. Maka di berbagai daerah, mulai jam 12 siang, redaksi membuka email dari lembaga-lembaga sumber berita, dan banyak pula yang terikat kontrak. Kalau ada, langsung copy paste, ganti judul sedikit atau mungkin bahkan tidak, lalu masukkan ke medianya. Waktu melakukan verifikasi faktual di Bengkulu beberapa tahun lalu, salah satu staf Dewan Pers bertanya,” Kok hari ini belum ada beritanya, Bang.” Dengan lugu pejabat redaksi itu menjawab, “Belum ada email masuk. Biasanya setelah jam makan siang, lalu kami jadikan berita.” Sewaktu menghadiri Porwanas di Malang, saya bertemu beberapa wartawan dan bertanya. “Kalian terpaksa cuti ya agar ikut event ini?” “Tidak masuk kantor saja, Bang, kalau berita sih jalan terus karena kan email bisa dicek di hape. Ada berita, diedit, langsung kami muat.” Adalah lumrah kalau sebuah peristiwa penting diliput dari sudut pandang (angle) yang berbeda, tetapi biasanya itu terjadi karena perbedaan apa yang dianggap lebih penting dari event tersebut oleh redaksi. Dalam praktek sekarang ini, perbedaan karena rilis dari lembaga yang bekerjasama dalam kemitraan pencitraan. Misalnya pejabat pusat datang ke daerah, maka rilis akan datang dari Bupati, pihak keamanan, OPD yang menjadi pelaksana, dsb. Bagi mereka rilis itu penting sebagai bukti kinerjanya, dan pers menelan mentah-mentah, muat saja dan tidak menyoalkan apakah yang dikedepankan kepentingan publik atau pencitraan pejabat semata. <strong>***</strong> Saya kira kita sepakat bahwa pers harus ditolong karena tidak lagi mampu menolong dirinya sendiri dan yang dapat menolong selain masyarakat, tentu saja pemerintah, dengan berbagai skema yang tidak mengganggu independensi pers. Di sisi lain masyarakat pers harus memperbaiki diri, bekerja sama untuk mengembalikan martabat dan marwah yang kini mungkin tinggal di mulut saja. Bangga menjadi wartawan yang profesional, bangga menjadi media yang bermutu dan berkualitas. Mari berhenti membuat kerusakan<strong>.(***)</strong> <strong>Ciputat, 4 Desember 2022</strong> <strong>Penulis: Wartawan senior, mantan Wakil Ketua Dewan Pers</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/ni2efcjhwLc
Discussion about this post