Oleh: Rusdianto Samawa
Pasca diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Indian Ocean Rim Association (IORA) di Jakarta 2020, pemerintah Indonesia berupaya menindaklanjuti dengan langkah yang lebih nyata dari KTT IORA dengan menyelenggarakan pertemuan tingkat menteri ke 2 negara-negara anggota IORA tentang konsep ekonomi biru (blue economy) dan perlindungan pelaut.
Hal itu dilaksanakan, saat perundingan pembentukan norma internasional terkait keanekaragaman hayati diluar area 200 mil laut di Markas Besar PBB New York beberapa tahun lalu, tepatnya dimulai pada tanggal 28-29 Maret 2017 hingga sekarang ini.
Bagi Indonesia, komitmen menggalang dukungan global dalam manfaatkan potensi kelautan dengan pendekatan keberlanjutan sebagai inti dari konsep ekonomi biru. Sesuai hasil konferensi PBB untuk Pengembangan Berkelanjutan (United Nations Conference on Sustainable Development) di Rio de Janerio pada Juni 2012 lalu, bahwa banyak negara kepulauan dan negara pulau yang gantungkan hidup pada sumberdaya laut dan perikanan.
Ekonomi Biru, Jualan Kapitalisme
Saat ini, Indonesia mengalami permasalahan, yaitu kenaikan air laut karena pemanasan global, peningkatan kadar asam air laut dan sampah plastik laut. Masalah tersebut, pekerjaan paling lama dan tidak akan menemukan solusi dalam jangka pendek. Sudah pasti sangat lama. Maka, harus ditangani. Karena, ratusan juta penduduk bergantung pada laut untuk mata pencaharian dan ketahanan pangan. Karena itu pendekatan pemanfaatan yang berkelanjutan sangat dibutuhkan karena laut yang sehat memiliki potensi ekonomi sebesar US$ 24 triliun.
Namun, konsep doktrin ekonomi biru sasarannya pada nelayan. Mengapa? karena pembatasan alat tangkap, pelarangan alat tangkap, pembatasan gross ton kapal nelayan hingga sistem kuota lelang ikan. Adakah hubungan Ekonomi Biru dengan kebijakan pendekatan kuota ikan tangkapan bagi pengusaha dan nelayan tradisional. Jawabannya, tentu pada pengelolaan Sumberdaya alam (Ikan, terumbu karang, mangrove) dan lainnya.
Tetapi, bertolak belakang dengan konsep Ekonomi Biru yang dimaksud dalam sidang umum PBB yang dihadiri oleh Indonesia, sejak 2017-2020 lalu dalam berbagai kegiatan KTT G20 maupun Konprensi Majelis Umum PBB lainnya. Bahwa, konsep yang dimaksud oleh berbagai negara yang tergabung sebagai anggota, yakni: kenaikan air laut karena pemanasan global, peningkatan kadar asam air laut dan sampah plastik laut. Kalau pengelolaan sumberdaya diberikan tanggung jawab penuh ke nelayan dan masyarakat pesisir. Artinya, tidak seimbang. Doktrin ekonomi biru sangat ektremis tuduhannya, sekaligus menjadi hakim mengadili dan persalahkan nelayan maupun masyarakat pesisir penyebab kerusakan laut.
Melalui doktrin Ekonomi Biru inilah, Indonesia mengikuti jualan negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat melalui DK PBB sebagai juru runding pembuatan konsep Ekonomi Biru (Sidang Umum Majelis PBB tahun 2017 dan 2020). Dengan demikian, konsep kebijakan ini, diterapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan periode 2020-2024 saat ini.
Turunan konsep ekonomi biru dituangkan dalam rencana strategis negara melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Secara praktis dari konsep tersebut, menghasilkan kebijakan “Sistem Kuota Tangkap Ikan” dengan alasan manajemen Sumberdaya Ikan dan kelestarian lingkungan.
Sistem penangkapan ikan Terukur melalui pengaturan Lelang Kuota Tangkap Ikan berimbas pada kenaikan tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus dibayarkan oleh pengusaha (perusahaan) dan nelayan yang mendapat kuota ikan. Hal itupun diatur dalam Peraturan Pemerintah No 85 tahun 2021.
Regulasi KKP melegalkan kepentingan oligarki. Tak mungkin, nelayan tradisional, koperasi perikanan, industri pengolahan sekuat modal investasi besar. Kebijakan KKP yang melelang kuota tangkap bagian dari kepentingan besar penguasa dalam mengakomodir dua blok negara adidaya, yakni Amerika Serikat dan China.
Sementara, oligarki (investasi perikanan) di laut Indonesia di dominasi oleh China yang melibatkan trading usaha perikanan china secara penuh. UU Omnibuslaw yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi itu mestinya menjadi pegangan dasar KKP dalam pertimbangkan eksploitasi sumber daya Ikan (SDI).
Sementara, peran Indonesia tidak maksimal di Majelis Umum PBB. Indonesia hanya diminta galang dukungan untuk pengembangan ekonomi biru. Bukan sebagai pencetus perubahan dunia. Indonesia dituntut memiliki tindakan konkrit untuk mengatasi persoalan kerusakan laut sehingga bisa menuntaskan isu-isu kelautan global. Sementara, kerusakan di perairan Indonesia, bukan semata-mata disebabkan oleh nelayan. Tetapi, dirusak atas pengerukan ikan oleh oligarki (perusahaan) investasi asing.
Pemerintah berupaya untuk memajukan ekonomi dengan sistem yang tidak tepat. Padahal, kalau membaca pidato Presiden Joko Widodo, selalu bilang “teknologi sangat cepat perubahannya. Maka kebijakan juga harus cepat, loncatannya jauh ke orientasi masa depan.” Apakah KKP tidak memikirkan modernisasi alat tangkap dan kapal dengan pemakaian sistem “Drone Fishing”?.
Daripada harus keluarkan kebijakan Kepmen No 98 dan 97 tahun 2021 untuk melegalkan sistem kuota lelang dengan alasan penangkapan terukur?. Sehingga membetuk tim beauty contest yang mencari, memanggil, dan menetapkan investor untuk keruk sumber daya ikan di laut dengan suntikan modal startup dari China. Padahal satu sisi, kebijakan terbebani pengelolaan sumber daya hayati (ikan dan sumber daya genetik lainnya) di high seas atau laut bebas. Apalagi, sumber daya migas dan mineral di kawasan dasar laut internasional yang berada di bawah mandat otoritas dasar laut Internasional. Laut bebas ini melingkupi 74 persen dari luas perairan bumi dan lebih dari 90 persen masih belum terjelajahi.
Pemerintah mestinya memiliki konsep sendiri terhadap pengelolaan lautnya. Tentu, sebagai manifestasi kedaulatan dan kemandirian maritim. Seharusnya, memiliki peran aktif dalam menyusun instrumen keanekaragaman hayati di luar yurisdiksi nasional dan penyusunan regulasi nasional terkait partisipasi aktif Indonesia di kawasan dasar laut internasional. Indonesia harus menjadi contoh pengelolaan maritim dalam skala regional dan global. Tentu, agenda utamanya membangun kolaborasi; adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, pembangunan ekonomi biru, penanggulangan sampah plastik di laut, serta tata kelola laut yang baik.
Ke depan, Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan BUMN dirgantara sebagai bentuk nasionalisme untuk menciptakan “Drone Fishing” yang justru menjadi tujuan primadona sebagai modernisasi alat: tangkap, angkut, intai, riset, dan pengamanan laut. Seharusnya kebijakan KKP pada modernisasi alat tangkap berbasis Drone Fishing.
Bukan pada kebijakan mobilisasi investor untuk keruk sumber daya ikan melalui instrumen investasi startup dari negara China dengan nilai jutaan dollars. Pemerintah disana sini, bicara keberlanjutan. Namun, sistemnya eksploitasi untuk kepentingan asing. Mana mungkin, pengusaha dan nelayan pada masa Corona Virus memiliki modal besar senilai Rp 200 miliar.
Discussion about this post