Kuota Lelang Ikan, Jebakan Neokomunis China
Menjelang awal tahun 1970-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya atau semi kapitalisme.
Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an, sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Kebijakan ekonomi pemerintah banyak dibawa ke arah liberalisasi ekonomi; liberalisasi sektor keuangan, industri, kelautan, perikanan, perindustrian dan perdagangan. Masa-masa pemerintahan sebelumnya merupakan tonggak kebijakan liberalisasi ekonomi di bidang kelautan dan perikanan. Menjamurnya industri perikanan di Indonesia, yang diikuti terjadinya transaksi utang luar negeri perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi Indonesia hingga saat ini.
Dampak ekonomi neoliberal dan neokomunis yang bertarung, membentuk impact bagi kelautan dan perikanan Indonesia pasca berbagai perjanjian dengan dua negara-negara utama yakni Amerika Serikat dan Tiongkok, yaitu dikuasainya sektor industri kelautan dan perikanan oleh swasta.
Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas, pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi perikanan yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum). Hal itu dilakukan baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi swasta, seperti investasi Startup Perikanan yang disuntik oleh China kepada perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia.
Pada 23 April 2004, Pemerintah Indonesia telah melakukan kerja sama (MoU) dengan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok yang ditandatangi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan Menteri Pertanian tentang kerja sama perikanan. Yang saat itu disepakati untuk swastanisasi kelautan dan perikanan Indonesia dibawah konsep ekonomi biru.
Mengingat pada 3 Maret 2014, pemerintah Indonesia yang dipimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, menggelar pertemuan pertama Joint Committee on Fisheries Cooperation dengan delegasi Tiongkok yang dipimpin oleh Deputi Direktur Jenderal Biro Perikanan Kementerian Pertanian RRT, di Beijing. Pertemuan itu merupakan tindak lanjut dari penandatanganan Memorandum of Understanding Kerja Sama Perikanan RI-Tiongkok yang ditandatangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI dan Menteri Luar Negeri RRT pada 2 Oktober 2013, di Jakarta.
Dalam pertemuan tersebut, dibahas dua agenda pokok yaitu rancangan pengaturan kerja sama penangkapan ikan dan pengelolaan daerah perikanan terpadu di Natuna. Kedua isu tersebut dipandang penting guna menyamakan persepsi mengenai penataan kerja sama investasi di bidang perikanan. Khususnya yang terkait dengan hal-hal yang perlu dimasukkan dalam pengaturan pelaksanaan (implementing arrangement) yang akan dibahas dalam pertemuan Maritime Cooperation Committee pada minggu ketiga Maret 2014 di Jakarta.
Pada saat Indonesia hadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke 17 ASEAN-Republik Rakyat Tiongkok (RRT) tanggal 13 November 2014 di Nay Pyi Taw, Myanmar lalu. Dalam pidatonya, Presiden Indonesia menyampaikan tiga hal utama terkait kerjasama kemitraan ASEAN-RRT, yakni: pertama, peningkatan kerjasama di bidang ekonomi untuk kesejahteraan, pertumbuhan seimbang, investasi berkualitas, dan perdagangan. Kedua, Pembangunan infrastruktur regional. Ketiga, peningkatan kerjasama dibidang konektivitas maritim dan investasi startup perikanan.
Pada Rabu 13 April 2016 bahwa kerjasama Indonesia-RRT mulai dari tanggal 23 April 2004, Pemerintah Indonesia MoU dengan Pemerintah China RRT yang ditandatangani oleh Men-KKP dan Mentan tentang perikanan. Dasar MoU tersebut, pada tanggal 25 April 2005, deklarasi bersama antara RI dan RRT mengenai kemitraan strategis.
Hal ini berulang kembali untuk memantapkan program kerjasama, sehingga diperlukan MoU, sebagaimana pada tanggal 21 Januari 2010, Rencana aksi implementasi Deklarasi Bersama antara RI dan RRT mengenai kemitraan strategis. Untuk memperkuat jalannya pendudukan aseng China RRT, pemerintah Indonesia saat itu menggelar karpet merah bagi China melalui MoU (kerjasama) pada 23 Maret 2012, MoU kerjasama Maritim antara pemerintah RI dan RRT.
Yang paling dahsyat bahwa MoU itu belum dicabut oleh pemerintah RI hingga sekarang, masih tetap berjalan. Pada tanggal 2 Oktober 2013 lalu juga, diadakan MoU Kerjasama KKP RI dengan Kementan RRT, yang isinya menyepakati tentang banyak hal, termasuk penangkapan ikan di laut Indonesia memakai sistem lelang kuota. Mereka anggap melalui berbagai isi MoU seperti meningkatnya investasi perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan produk dan pemasaran maupun sebaran kapal-kapal perikanan tangkap yang berukuran 1000-5000 Gross Ton.
Dalam MoU tahun 2013 itu bahwa pemerintah Indonesia dan China juga siap saling bertukar data dan informasi, mulai dari data Vessel Monitoring System (VMS), eksport dan impor produk perikanan, pendaratan ikan, penangkapan ikan terukur sistem kuota, usaha patungan dan investasi budidaya darat, registrasi dan sertifikasi kapal penangkap ikan di bawah pengaturan yang merujuk kepada pasal-pasal MoU. Semua ini di bawah kendali asing yang bebas mereka lakukan apa saja di negeri ini.
Pemerintah menduga, MoU tersebut membawa keberuntungan, namun ternyata penguasaan asing terhadap masa depan perikanan Indonesia. Mengapa demikian? MoU tersebut telah jauh masuk kearah pengembangan kerjasama secara teknis bidang perikanan tangkap dan budidaya, teknologi pasca panen, peningkatan pendapatan pasca produksi dan produk perikanan bernilai tambah, perlindungan keanekaragaman hayati perikanan hingga pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perikanan.
Kemudian disepakati juga dibentuk Komisi Bersama untuk menindaklanjuti MoU oleh beberapa Kementerian. Faktanya, regulasi Kepmen No 98 tahun 2021 tentang penangkapan ikan terukur, sala satu syarat teknis kebijakan tersebut, adalah pembentuk tim teknis di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang disebut tim beauty Contest. Tugas pokok dan fungsinya bekerja mencari, memanggil, meminta, menetapkan dan memberi kuota lelang tangkap ikan.
Sekarang mayoritas MoU itu di jalankan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui fasilitas jaminan investasi penangkapan ikan memakai sistem kuota lelang tangkap. Terutama, soal kerjasama dengan asing dalam hal sosialisasi, penangkapan ikan dan penyuluhan perikanan. Dalam susunan kebijakan, sudah bisa diprediksi kedepan, kapal asing akan menjadi raja disemua WPPNRI untuk menangkap ikan.
Menurut data yang bersumber dari Ditjen KSA tahun 2014 bahwa hubungan kerjasama ASEAN, dimulai secara informal pada tahun 1991 dan menjadi mitra wicara penuh ASEAN pada tahun 1996. Kerjasama kemitraan ASEAN meningkat menjadi kerjasama kemitraan strategis pada tahun 2003 hingga 2021 ini, disemua level kebijakan dan regulasi di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kerjasama yang menonjol adalah ekonomi, startup multilevel, maritim, Kelautan-Perikanan.
Terbukti, disepakati melalui perjanjian baru pada 3 Maret 2014 secara lebih teknis. Pertemuan pertama Joint Committee on Fisheries Cooperation dengan delegasi investor asing. Dalam pertemuan tersebut, merupakan tindak lanjut dari penandatanganan MoU Perikanan RI dengan investasi maupun pengusaha yang berasal dari negara lain. Titik fokus pada dua agenda pokok yaitu rancangan pengaturan kerjasama penangkapan ikan berbasis kuota dan pengelolaan daerah perikanan terpadu di semua WPPNRI.
Pembahasan isu tersebut dipandang penting guna menyamakan persepsi mengenai penataan kerjasama investasi dan industri perikanan, khususnya terkait hal-hal yang dimasukkan dalam pengaturan pelaksanaan (implementing arrangement) yang dibahas dalam pertemuan Maritime Cooperation Committee pada minggu ketiga Maret 2014 di Jakarta waktu itu dan dilanjutkan pembicara dan kerjasama pemerintah November 2021 pada puncak G20 dan ASEAN tahun 2021 ini. Konsepnya, penangkapan terukur.
Pada dasarnya MoU tersebut bebani Indonesia bahwa memberi ijin beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan Asing. Namun demikian, Indonesia melihat masih terjadi penyalahgunaan perijinan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Salah satunya adalah yang terkait status kapal nelayan. Pemerintah harusnya melakukan pendataan, verifikasi, terhadap perusahaan perikanan Asing yang selama ini menguras kekayaan laut Indonesia melalui banyak MoU, modal minimal 200 miliar.
Para Asing yang memiliki bisnis industri perikanan mengiming-iming agar perikanan tangkap dan sistem pengelolaan ikan secara berkelanjutan, termasuk penggunaan alat tangkap nelayan yang selama ini dilarang. Justru, agenda-agenda pelarangan alat tangkap, penenggelaman kapal dan pergantian alat tangkap merupakan isu dan gerakan susupan asing kedalam kebijakan pemerintah. Termasuk konsep ekonomi biru.
Negara-negara yang sudah kategori penggerak industrialisasi adalah Amerika Serikat dan China saat ini. Faktor dominasi perusahaan startup hingga real state yang seolah merugikan banyak negara tempat mereka investasi.
Apalagi, China bekerjasama dengan berbagai negara tak pernah menguntungkan pemilik kedaulatan resmi suatu negara. Bekerjasama dengan China sama tujuannya melenyapkan suatu negara yang sah. Karena pengalaman berbagai negara yang bekerjasama dengan China tidak ada yang berhasil, selalu menemui ajal kepunahannya, contoh besar Turkistan.
Begitu juga pada problem investasi startup perikanan yang disuntik pembiayaan dari China dengan jutaan dollars. Pembiayaan ini, diterima oleh perusahaan perikanan Indonesia yang joint budget (dana) dengan asing (China). Kemudian, perusahaan – perusahaan yang di suntik ini, mengikuti tender kuota lelang ikan di kementerian Kelautan dan Perikanan. Karena, tak mungkin nelayan tradisional dan pengusaha perikanan menengah Indonesia menerima suntikan dana startup karena kapal-kapal yang dimiliki berukuran kecil dalam hitungan gross tonnase.
Sementara, kapal-kapal penangkapan ikan yang dimiliki perusahaan perikanan Indonesia yang joint dengan China sebagai pemodal startup, kapalnya sangat besar. Bahkan dari 100-5000 gross tonnase. Kapal nelayan Indonesia sudah pada kecil gross tonnasenya. Maka pasti kalah dalam persaingan penangkapan ikan. Lagi pula, tidak mungkin mendapat kuota lelang ikan. Karena mereka tidak memiliki modal yang kuat sebagai perusahaan perikanan yang di suplay dana startup dari China.
Begitulah kerasnya persaingan monopoli dalam market ekonomi perikanan yang di fasilitasi oleh negara. Tentu sudah jelas mematikan nelayan – nelayan kecil itu sendiri karena kalah persaingan.(***)
Penulis merupakan Front Nelayan Indonesia (FNI)
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post