Oleh: Hendrik
Kebebasan pers tidak bisa dilepaskan dari ideologi dan sistem pemerintahan yang dianut dan dijalankan dalam sebuah negara yang berdaulat. Pers adalah organisasi yang terstruktur yang tugasnya bukan hanya bekerja untuk memberikan informasi terhadap masyarakat tetapi juga menjadi agen kontrol terhadap kebijakan yang dikeluarkan penguasa.
Pers yang termaksud media massa berkaitan erat dengan dengan komunikasi politik dan demokrasi, terutama mengenai kepemilikan, pengawasan dan kebebasan berekspresi. (Anwar Arifin. Media dan Demokrasi Indonesia. hlm:11).
Kebebasan pers dalam berekspresi adalah instrumen penting dalam sebuah pemerintahan yang diimplementasikan dalam bentuk atau model yang berbeda-beda dikarenakan perwujudan tentang kebebasan tidak sama setiap bangsa dan negara dikarenakan faktor ideologi, sistem pemerintahan, sejarah, kondisi sosial dan budaya.
Empat Teori Pers Menurut Siebert, Peterson dan Scharmm dalam bukunya “Four Theories of the Press”, ada 4 macam teori pers, yakni Otoriter, Liberal, Komunis, dan Tanggungjawab Sosial dikutip dari kumparan.com:
1. Teori Pers Otoriter (Authoritarian Theory). Teori ini pers mempunyai tugas untuk mendukung dan membantu politik pemerintah yang berkuasa untuk mengabdi kepada negara. Pada teori pers seperti ini, pers tidak boleh mengkritik alat-alat negara dan penguasa. Ditambah lagi pers jenis ini berada di bawah pengawasan dan kontrol pemerintah.
2. Teori Pers Bebas (Libertarian Theory). Teori jenis ini memiliki tujuan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja yang dilakukan oleh pemerintah. Pers liberal beranggapan bahwa pers itu harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya. Hal ini bertujuan untuk membantu manusia dalam mencari kebenaran.
3. Teori pers komunis (Marxis). Pers teori ini berperan sebagai alat pemerintah (partai) dan bagian integral dari negara, dan media massa mau tidak mau harus tunduk kepada pemerintah. Teori ini disebut juga dengan pers “totaliter soviet” atau teori pers komunis soviet.
4. Teori pers tanggung jawab sosial (Social Responsibility). Pada teori ini pers adalah forum yang dijadikan sebagai tempat untuk memusyawarahkan berbagai masalah dalam rangka tanggung jawab terhadap masyarakat/orang banyak (sosial).Teori ini muncul sekitar awal abad ke-20, setelah adanya protes terhadap kebebasan yang mutlak dari teori liberal.
Pers Masa Orde Baru
Pers di Indonesia mengalami dinamika dalam perkembangannya. Hal ini terjadi karena selama 71 tahun Indonesia telah menerapkan empat sistem atau model demokrasi yang berganti secara dramatis dan traumatis. Ke empat sistem dan model itu adalah: (1) Demokrasi Liberal (1945-1959, (2) Demokrasi Terpimpin (1959-1967), (3) Demokrasi Pancasila (1967-1999), dan (4) Demokrasi Indonesia Baru hasil amandemen UUD 1945 (1999-sampai sekarang). (Anwar Arifin. Media dan Demokrasi Indonesia: hlm 184).
Awal peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru menjadi angin segar bagi insan pers di Indonesia. Dimasa orde lama komunis memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar dalam tubuh pers kerena mendukung ideologi nasakom yang digaungkan oleh Soekarno.
Karena kondisi itu berimbas kepada pers yang menolak ideologi nasakom, bahkan tak sedikit pers dibredel (pencabutan izin terbit). Pengekangan terhadap pers ini berlangsung hingga runtuhnya pemerintahan orde lama.
Pers di Indonesia kembali memperoleh eksistensi kebebasannya pada masa pemerintahan Soeharto yang di kenal dengan nama orde baru. Pengalaman sejarah yang pahit bagi pers di Indonesia selama masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin melahirkan sebuah konsepsi baru yang disebut pers Pancasila yang dihasilkan dari disahkannya Undang Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang ketentuan ketentuan pokok pers.
Undang-undang nomor 11 Tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan dan prinsip dasar pers tersebut mengatur bahwa pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan dan kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara serta penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun.
View this post on Instagram
Pada kenyataannya, para penerbitan surat kabar wajib memiliki dua izin yang saling terkait. Dua izin tersebut adalah Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga keamanan militer Kopkamtib. Meskipun harus memiliki surat izin, ketegangan antara pers dengan pemerintah belum terlihat ketika awal-awal pemerintahan orde baru. (dikutip dari kompas.com).
Discussion about this post