Karena kondisi itu berimbas kepada pers yang menolak ideologi nasakom, bahkan tak sedikit pers dibredel (pencabutan izin terbit). Pengekangan terhadap pers ini berlangsung hingga runtuhnya pemerintahan orde lama.
Pers di Indonesia kembali memperoleh eksistensi kebebasannya pada masa pemerintahan Soeharto yang di kenal dengan nama orde baru. Pengalaman sejarah yang pahit bagi pers di Indonesia selama masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin melahirkan sebuah konsepsi baru yang disebut pers Pancasila yang dihasilkan dari disahkannya Undang Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang ketentuan ketentuan pokok pers.
Undang-undang nomor 11 Tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan dan prinsip dasar pers tersebut mengatur bahwa pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan dan kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara serta penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun.
View this post on Instagram
Pada kenyataannya, para penerbitan surat kabar wajib memiliki dua izin yang saling terkait. Dua izin tersebut adalah Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga keamanan militer Kopkamtib. Meskipun harus memiliki surat izin, ketegangan antara pers dengan pemerintah belum terlihat ketika awal-awal pemerintahan orde baru. (dikutip dari kompas.com).
Pers Indonesia di era orde baru sering disebut sebagai pers Pancasila. Ciri pers Pancasila adalah bebas dan bertanggung. Namun sayangnya, kebebasan tersebut hanya didapat pada saat awal-awal pemerintahan orde baru saja karena secara perlahan pemerintah orde baru walau secara de jure menggunakan pers Pancasila tetapi secara de fakto menerapkan pers otoritarian atau otoriter.
Kebebasan pers mulai sirna ketika terjadi Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). Dalam peristiwa ini terjadi demonstrasi besar-besaran di Jakarta. Demonstrasi ini dipicu oleh kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka. Akibat peristiwa tersebut banyak aktivis yang ditangkap. Tidak hanya aktivis, peristiwa tersebut juga berdampak pada kehidupan pers.
Jika dilihat dari konstalasi politik pada masa orde baru pers sangat berperan penting dalam menampung aspirasi masyarakat untuk menyuarakan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah saat itu. Hal ini tentu akan menjadi bumerang bagi pemerintahan orde baru dalam melanggengkan kekuasaan.
Sejak Peristiwa Malari, pemerintah mulai memperhatikan dan menekan pers. Tekanan terhadap pers semakin terasa ketika pemerintah orde baru mengeluarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers. Undang-undang tersebut merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966. Apabila dalam Undang-undang nomor 11 tahun 1966 tidak mengatur surat izin penerbitan pers, maka dalam Undang-undang nomor 21 tahun 1982 surat izin pers benar-benar diatur.
Surat izin tersebut dikenal sebagai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) apabila perusahaan pers tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah atau malah mengkritik kebijakan pemerintah, maka SIUPP-nya akan dicabut (dibredel) oleh Departemen Penerangan. Dikutip (kompas.com).
Pers Era Reformasi
Discussion about this post