Sejumlah ibu-ibu duduk sambil merajut ulos dengan alat tenun. Sementara di sisi mereka, beberapa kain ulos yang indah dipajang dengan warna warninya yang indah.
Keahlian menenun di Desa Huta Nagodang merupakan tradisi turun menurun dari nenek moyang mereka. Kain ulos yang ditenun jenis Ulos Harungguon, yang biasa dikerjakan selama 1-2 minggu.
Tapi saat ini, para penenun ulos di Desa Huta Nagadang rata-rata sudah lanjut usia, jarang ditemui penenun berusia muda.
“Mereka (red. Generasi muda) maunya merantau, tak mau menenun ulos ini,” kata Asti Opusunggu ditemui saat menenun benang menggunakan sorha, alat tenun ulos khas Batak.
Kedatangan kami ke Kampung Ulos ini memang sudah ditunggu tim Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Tapanuli Utara di bawah pimpinan ketuanya Satika br Simamora, yang juga istri Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan, dan para anggota kelompok sadar wisata (pokdarwis) kecamatan setempat.
Saya sedikit merasa surprise begitu bertemu Satika. Di daerah terpencil di Kecamatan Muara, Satika tampil dengan modis mengenakan setelan baju ulos yang sudah dirancang menjadi baju kekinian.
Wajahnya yang cantik khas batak dan kemampuannya berkomunikasi membuatnya menjadi menarik. Tak heran, selain menjadi istri Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan, Satika juga lulusan terbaik Universitas HKBP Nomensen dengan nilai A saat meraih gelar Magister Management-nya.
Satika ternyata sangat konsen dalam memajukan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di daerahnya, terutama dalam pelestarian dan pengenalan tenun ulos tidak hanya ke seluruh nusantara, tapi juga ke dunia luar.
“Kita ada delapan kategori produk kita untuk UMKM, yaitu snack, makanan, minuman, tenun ulos, fashion ulos, tas, souvenir hingga kriya,” katanya.
Khusus tenun ulos, Satika mengaku sangat bersemangat untuk memperkenalkannya ke dunia luar, sehingga ia berpikir untuk meningkatkan produksi dan kualitasnya.
“Selama ini, tenun ulos hanya biasa dipakai untuk upacara adat atau sebagai kebudayaan saja, belum dipakai untuk fashion atau mode,” tuturnya.
Karena itu, ia pun mencoba meningkatkan produksi tetapi pembelinya tidak terlalu banyak karena harganya yang relatif mahal dari Rp300 ribu hingga Rp15 juta. Akhirnya, Satika menggunakan serat sintetis sehingga harga kain ulos relatif murah tetapi idenya tersebut sempat ditolak para penenun.
“Untuk meningkatkan kebutuhan ulos, kita melakukan kreasi tenun ulos yang siap pakai. Awalnya kebanyakan penenun menolak ide ini, dan hanya penenun dari Desa Papande Kecamatan Muara yang bersedia berpartisipasi,” katanya.
“Setelah Desa Papande sukses, banyak penenun dari daerah lain menjadi terbuka dan ikut bergabung. Sekarang, kreasi tenun ulos dari Tapanuli Utara selalu memenangkan setiap perlombaan fashion di tingkat nasional dan mayoritas penenun kewalahan untuk memenuhi pesanan pembeli,” ujar Satika menambahkan.
Saat ini, tenun ulos menjadi salah satu penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tapanuli Utara. Dengan menggerakkan 11 ribu penenun ulos yang ada, potensi ekonomi tenun daerah ini mencapai Rp1 triliun per tahun.
Satika berjuang memperkenalkan tenun ulos tidak akan berhenti meskipun nantinya ia tidak menjadi Ketua Dekranasda lagi.
“Saya berpikir kalau Tuhan berkeinginan saya bisa lebih besar lagi kenapa enggak, berarti Tuhan ingin saya berkontribusi lebih besar lagi terhadap mereka. Karena itu, tetap motivasinya jangan pernah berhenti berbuat baik, jangan pernah hitung-hitungan,” katanya.
“Kalau selama ini saya berbuat sebagai Ketua Dekranasda ya mungkin kemampuan saya sampai sini, tapi kalau Tuhan berkehendak saya berada di pusat, berarti perjuangan saya akan lebih besar lagi dari pusat. Yang penting saya tetap ada di hati mereka,” ucap Satika lagi.
Melihat Pulau Sibandang dari Dekat
Dari Kampung Ulos Hutanagadang, kami melanjutkan ekspedisi dengan melakukan pelayaran di tengah Danau Toba. Dari Pelabuhan Muara, kami menumpang kapal nelayan yang biasa dipergunakan untuk membawa para wisatawan.
Pelayaran kami sangat mengasyikkan, apalagi khususnya kapal yang saya tumpangi juga ikut serta muda-mudi Tapanuli Utara yang pintar bernyanyi. Sepanjang pelayaran kami ikut berdendang lagu khas Batak, sehingga satu jam pelayaran tidak terasa.
Dalam pelayaran ini, kami bisa melihat kehidupan masyarakat di Pulau Sibandang dari dekat. Pulau Sibandang ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, satu dari delapan kabupaten penyangga kawasan Destinasi Super Prioritas Danau Toba.
Dari atas kapal, kami bisa melihat jajaran pohon Mangga Muara di sepanjang pantai pulau ini. Tapi sayang sekali, musim panen mangga muara ternyata sudah berlalu satu bulan sebelumnya.
“Di sini selain bertanam jagung dan bawang, mereka juga menanam mangga. Mangga Muara sangat terkenal, rasanya asam manis. Usia mangga di sini ada yang mencapai ratusan tahun,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Tapanuli Utara Yulius Caesar Hutauruk yang ikut dalam pelayaran.
Geosite Sipinsur
Hari Kedua Ekspedisi Geopark Kaldera Toba SMSI dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2023, kami awali dengan berkunjung ke Geosite Sipinsur yang terletak di Desa Pearung, Kabupaten Humbang Hasundutuan. Geosite yang berupa taman wisata alami seluasnya 2 hektare dan terletak di ketinggian 1.213 meter dari permukaan Danau Toba.
Begitu memasuki kawasan Geosite Sipinsur, kami sudah disambut dengan barisan pohon pinus yang menjulang tinggi dengan beralaskan hamparan rumput di bawahnya. Sangat asri, sehingga tidak heran tempat ini sering dijadikan tempat pertemuan, wisata keluarga, dan bahkan tak sedikit yang melakukan ibadah bersama.
Dari lokasi Geosite Sipinsur, kami bisa melihat lanskap yang indah panorama Danau Toba beserta Pulau Sibandang. Kapal-kapal nelayan dan kapal wisatawan juga terlihat melintas di tengah Danau Toba menambah indah panorama yang ada. Tapi tak lama kami berada di sini, karena kami harus mengunjungi tempat lain.
Batu Hobon
Setelah melintasi jalan berliku naik turun bukit selama beberapa jam, kami kemudian menuju lokasi tempat pertama kali bermukimnya Raja Batak, Batu Hobon yang terletak di Desa Limbung Sagala, Kecamatan Sianjur. Di sini, kami bisa melihat warisan budaya masyarakat Batak berada.
Batu Hobon sendiri merupakan bebatuan yang sejenis kubah batu lava, yang muncul di permukaan akibat letusan Gunung Pusuk Buhit. Batu ini berdiameter sekitar satu meter dengan bagian bawah berongga. Diperkirakan batu ini merupakan sebuah lorong yang mungkin saja berbentuk goa.
Batu Hobon ini dipercaya sebagai tempat yang sakral dan sering dipakai sebagai tempat ucapara yang diyakini sebagai penghormatan kepada roh leluhur sekaligus menerima pewahyuan dari nenek moyang, dikenal dengan sebutan “Tatea Bulan”.
Dipercaya di dalam Batu Hobon terdapat harta pusaka, alat musik, dan kitab berisi ajaran leluhur dan falsafah Batak.
Discussion about this post