Tentara sekutu, termasuk Inggris kalah perang. Lalu sepeda motor milik mereka ditinggalkan begitu saja. Namun ada juga pengusaha perkebunan Belanda dan Eropa yang memberikan sepeda motor itu secara cuma-cuma kepada warga pribumi.
Saat itu tahun 1950-an, sepeda motor BSA terbiarkan seperti barang rongsokan, tidak terpakai. Lantas muncul ide warga setempat memberdayakannya sebagai mesin penarik becak.
“Tapi tak hanya BSA, sepeda motor tua lain seperti Norton, Triumph, dan BMW juga dimanfaatkan. Tapi hanya BSA yang cocok dan efisien mengarungi topografi Pematang Siantar yang berbukit-bukit, sehingga lolos dari seleksi alam,” sebut Erizal.
Selanjutnya, sambung Erizal, setelah para pionir becak berhasil meningkatkan daya guna sepeda motor BSA, banyak orang mencarinya dan memburunya ke berbagai daerah, sebab harganya sangat murah. Bahkan, orang-orang dari Pematang Siantar mencari BSA hingga ke Medan, Asahan, Deliserdang, Rantauprapat, hingga ke Riau.
Hasilnya, kurang lebih 2.000 unit becak BSA sudah berada di Pematang Siantar pada periode 1980-an hingga 1990-an.
“Sejak itu, Pematang Siantar terkenal sebagai gudangnya sepeda motor BSA, dan menjadi legenda,” tukasnya.
Hanya saja, dalam perjalanan selanjutnya, ternyata bermunculan kolektor berburu BSA ke Pematang Siantar, bahkan dari luar negeri, dan negara asalnya, Birmingham, Inggris. Alhasil, transaksi atau jual-beli BSA berlangsung fantastis. Sehingga hanya dalam rentang waktu 10 tahun sejak 1990, jumlah BSA di Siantar berkurang.
“Di tahun 2000-an sudah di angka 600-an unit. Bahkan kini paling ada sekitar 110 unit,” tandas Erizal.
Memang, diakui Erizal, untuk merawat BSA sebagai motor tua, memang tidak mudah. Perlu keahlian khusus merawatnya. Apalagi suku cadangnya sudah tidak diproduksi lagi. Ditambah, pabriknya juga sudah tutup.
Dengan demikian, suku cadang harus dibuat di bengkel las-bubut ataupun memodifikasi suku cadang motor atau mobil yang bisa dipakai sebagai substitusi.
Discussion about this post