Perlakuan istimewa PDIP kepada Jokowi dan keluarganya, menjadi senjata makan tuan. PDIP pasrah dan tega membunuh karir politik kader-kadernya demi memenuhi ambisi dinasti politik dan kekuasaan putra sulung Jokowi, Gibran dan menantu Jokowi, Bobby Afif Nasution, yang kesusu maju sebagai calon walikota.
Akhyar Nasution, Walikota Medan petahana (kader dan Wakil Ketua DPD PDIP Sumatera Utara), dipecat dan disebut penghianat oleh elit PDIP demi karpet merah buat menantu Jokowi, Bobby. Demikian juga dengan Achmad Purnomo, yang semula telah diputuskan sebagai calon walikota Solo akhirnya pasrah namanya diganti putra mahkota Jokowi, Gibran yang kesusu maju jadi walikota Solo.
Purnomo yang ditawari jabatan di Pemerintah Pusat oleh Jokowi, menolak, sementara Akhyar Nasution memilih melawan dengan bertarung di Pilkada kota Medan menghadapi menantu Jokowi.
Perlakuan adanya anak emas dan anak tiri di PDIP tidak hanya buat keluarga Jokowi. Para elit PDIP juga kerap melakukannya terhadap anak, istri, menantu, keluarga, kerabat, dan kolega masing-masing. Banyak kader-kader militan, yang berjuang membesarkan partai, dibunuh karir politiknya demi circle elit PDIP.
Partai terkesan hanya milik pengurus dan circle nya, sehingga para kader tanpa posisi pada struktur tidak memiliki akses terhadap informasi, kegiatan, dan hal lain terkait partai.
Sementara para penghianat partai dari berbagai partai lain, diberi karpet merah di PDIP. Bahkan kader penghianat partai yang pernah dipecat PDIP, lalu pindah ke partai lain, dan selalu menjadi lawan politik PDIP, kini kembali menjadi elit PDIP. Maka penghianatan Gibran menjadi karma politik dari para kader yang karir politiknya dimatikan PDIP. Dari mereka yang berjuang membangun dan mempertahankan partai dari berbagai tekanan, namun tidak dihargai, bahkan dikucilkan elit PDIP.
Dengan Atau Tanpa Jokowi: Hattrick
Pemilu pertama pasca reformasi, tahun 1999, PDIP sebagai kelanjutan dari PDI (partai hasil fusi PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai Murba), berhasil menjadi pemenang pertama. Pada Pemilu kedua, tahun 2024, PDIP pemenang kedua, selanjutnya pada Pemilu 2009, PDIP pemenang kedua.
Pemilu 2014 (sebelum Pilpres), PDIP pemenang pertama, sedang Pemilu 2019 (bersamaan dengan Pilpres), PDIP menjadi pemenang pertama. Fakta tersebut membuktikan bahwa kemenangan PDIP dalam Pemilu tidak hanya ditentukan oleh calon presiden. Kemenangan dalam Pemilu ditentukan oleh kemampuan PDIP membujuk dan meyakinkan rakyat, bahwa PDIP menjadi saluran aspirasi dan suara rakyat.
Jika PDIP ingin hattrick, memenangi Pemilu (Pileg dan Pilpres 2024) untuk ketiga kalinya seperti Pemilu 2014 dan 2019, dengan atau tanpa Jokowi, maka PDIP harus melakukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa PDIP sebagai kelanjutan perjuangan dari PDI yang merupakan hasil fusi dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai Murba harus jujur terhadap sejarah. Sehingga gambar wajah dari semua deklarator fusi harus ditampilkan dalam berbagai kegiatan partai.
Discussion about this post