Oleh: Andi Syahrir
SUARANYA bergetar saat ingatannya mundur jauh ke belakang. Matanya mendadak berkaca ketika berkisah tentang takdir getir yang pernah menghampirinya.
Dari seorang bocah kecil yang bahagia, beranjak menjadi remaja penuh prestasi. Mengecap manisnya pernikahan. Lalu ditinggal pergi sang suami untuk selama-lamanya. Meninggal dunia.
Meninggalkan dua anak yang masih kecil-kecil. Yang harus dibesarkannya. Sendirian. Menjadi ibu sekaligus ayah bagi keduanya. Baginya, itu bukan hal mudah. Berkarier di tengah stigma single parent yang begitu buruk di tengah masyarakat.
Dia berjanji dalam hati. Kepada almarhum suaminya. Bahwa dia akan menjadi istri dan ibu yang baik. Tidak akan menikah lagi sebelum anak-anaknya dewasa. Jadi orang. Atau paling tidak, setelah mereka punya pijakan sendiri dalam kehidupannya. Ia membuktikannya.
Selama 18 tahun dalam hidupnya, wanita kelahiran Kolaka ini memilih hidup sendiri tanpa pendamping. Hingga berhasil menikahkan kedua anak-anaknya. Bahkan, setelah itu pun, wanita itu bersikukuh untuk tetap sendiri.
Namun, ada realitas sosial yang dihadapinya. Memilih menjadi wanita karier berarti dirinya harus berinteraksi dengan banyak orang. Tanpa sekat gender. Pun batasan waktu. Dia membutuhkan pendamping. Sebuah keluarga utuh yang menjaganya dari berbagai macam prasangka dan stigma negatif.
Itulah sekeping perjalanan hidup paling menggetarkan batin dan mempengaruhi seorang Dr. Hj. Nur Endang Abbas, SE, M.Si, Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, yang baru saja mengakhiri jabatannya per 6 April 2022. Hampir dua tahun sejak dirinya menduduki kursi itu per 3 Agustus 2020 silam.
Lahir pada 7 April 1962, dari ayah-ibu yang berprofesi sebagai guru. Endang tumbuh menjadi anak yang cerdas. Sebagai anak sulung, dia kerap dibawa ayahnya kemana-mana mengendarai sepeda. Diajari berhitung dan diperkenalkan kosakata bahasa Inggris.
Masa kecil hingga tamat SMP dihabiskannya di Kolaka. Dirinya begitu aktif. Tidak hanya dalam akademik dia berpretasi. Mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah Sultra ini juga menonjol di kegiatan ekstrakurikuler. Menjadi pemimpin barisan, pramuka, hingga paduan suara.
Memasuki SMA, wanita yang kini menjadi widyaiswara utama itu, diboyong orangtuanya ke Kendari. Ayahnya pindah tugas ke pemerintah provinsi. Diangkat sebagai kepala bagian di Biro Kepegawaian.
Tidak lama setelah tamat di SMA 1 Kendari, dia menikah dengan seorang lelaki bernama Drs. Komaruddin Kando. Tepatnya tahun 1980. Anak pertama mereka lahir setahun kemudian.
Di tahun yang sama, Maret 1981, berbekal ijazah SMA, mantan Kepala Badan Pengembangan SDM Sultra ini, terangkat sebagai PNS golongan dua. Anak keduanya lahir. Setelah anak-anaknya sudah bisa ditinggalkan dan dijaga oleh pengasuh, dia baru mendaftar kuliah.
Masuk Fakultas Ekonomi Universitas Halu Oleo. Lulus tahun 1990. Sejak mahasiswa baru sudah menonjol. Sering bertanya. Duduk paling depan. Aktif di organisasi kemahasiswaan, dan sempat didaulat sebagai Ketua Senat III Fakultas Ekonomi.
Kesibukannya sebagai pegawai negeri, tidak menghalangi dirinya untuk tetap beraktualisasi di lembaga lain, di luar pemerintahan. Mantan Asisten Perekonomian dan Pembangunan itu juga berkiprah di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Di tengah kebahagiaan menjalani status sebagai ibu dan istri, serta kesibukannya bekerja dan berorganisasi, badai datang. Sang suami wafat. Tahun 1992. Hatinya hancur berkeping-keping. Rencana hidupnya ditata lagi, tanpa kehadiran seorang suami.
Discussion about this post