PENASULTRA.ID, SEMARANG- “Djiwamoe bagaikan sajap pendukung tjita-tjita bangsa. Ragamu bagaikan alas kemerdekaan nusa”
Sebuah pepatah yang dipersembahkan untuk mengenang para pemuda yang gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melawan tentara Jepang.
Tulisan i itu berada tepat di belakang lokomotif yang terpajang dalam sebuah gedung penuh misteri di Jantung Kota Semarang.
Namanya gedung Lawang Sewu dalam istilah bahasa Jawa. Apabila diartikan dalam bahasa Indonesia dimaknai gedung seribu pintu atau menjadi kata yang mewakili angka paling banyak di zaman dahulu.
Gedung bersejarah ini menjadi saksi bisu atas ragam fenomena yang terjadi di zaman penjajahan kolonial Belanda maupun Jepang. Mulai dari proses pembangunan yang memakai arsitek handal dari negari Tulip, hingga pembantaian tahanan kolonial belanda di ruang bawah tanah pada masa penjajahan para musuh dari negeri Sakura di tahun 90-an.
Tidak sampai disitu, bangunan ini menjadi saksi bisu atas pertempuran antara para Pemuda Indonesia melawan prajurit Jepang.
Dibangun di jantung Kota Semarang, tepat di jalan Pemuda, di kawasan Monumen Tugu Muda dan Museum Mandala Bhakti ternyata menjadikan gedung ini terlihat megah bagai istana Surga. Keelokan bangunan unik ini mampu memikat hati dan menjadi tempat wisata populer masyarakat setempat.
Gedung ini pernah masuk dalam daftar tempat paling angker di Asia dan disebut bangunan menyeramkan. Wisatawan domestik maupun mancanegara pun tak luput dari gedung ini saat berkunjung di kota itu. Sehingga, Gedung Lawang Sewu ini kerap dijadikan tempat wisata bersejarah.
Mulanya, gedung ini dijadikan kantor administrasi kereta api Belanda bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Selain itu, sempat juga digunakan sebagai kantor Riyuku Sokyuku (Djawatan Transportasi Jepang).
Kini, Lawang Sewu dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai museum dan tempat wisata. Setiap tahunnya pada tanggal 14 Oktober malam, selalu digelar teatrikal untuk memperingati pertempuran 5 hari di Semarang. Sebuah pertempuran hebat antara Angkatan Pemuda Kereta Api (AMKA) dengan tentara Jepang.
Dilihat dari fisik bangunan, Lawang Sewu ini memiliki 928 pintu dan hanya mines 72 pintu, sehingga layak di sebut gedung seribu pintu. Gedung ini dibangun secara bertahap di atas lahan seluas 18.232 m² dan dirancang oleh arsitek yang berbeda.
Menurut keterangan salah seorang tour guide (pemandu wisata red) Mas Aris, Lawang Sewu terdiri dari lima bangunan. Kata dia, proses perancangan awal Lawang Sewu dimulai oleh seorang arsitek asal Belanda bernama Ir. P. de Rieu.
Bangunan yang pertama kali dibuat adalah gedung C yang difungsikan sebagai kantor percetakan karcis kereta api pada tahun 1900. Setelah Ir. P. de Rieu meninggal dunia, Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag ditunjuk untuk melanjutkan pembangunan Lawang Sewu.
Akhirnya, pengerjaan gedung A sebagai kantor utama NIS pun dimulai pada Februari 1904 dan selesai Juli 1907.
“Kalau kita lihat bentuk bangunan dalam gedung A terlihat seperti gerbong kereta, jadi semuanya saling berhubungan seperti gerbong kereta api, hal ini dilakukan untuk mempermudah komunikasi orang Belanda kala itu,” kata Aris.
Seiring berkembangnya kantor kereta api Belanda, maka dibangunlah beberapa gedung pendukung, yakni gedung B, D, dan E pada tahun 1916–1918.
Untuk gedung B masih dibangun oleh Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag. Sementara untuk gedung D dan E dipegang oleh Thomas Karsten. Ia menjadi arsitek termuda dan terakhir yang merancang pembangunan Gedung Lawang Sewu.
Jika dicermati, bangunan Lawang Sewu menggunakan batu bata keramik berwarna oranye yang melambangkan sebuah kekayaan, kemakmuran, dan juga menunjukkan kasta tertinggi. Zaman dahulu, batu bata ini tergolong langka dan harga per-batanya pun sangat mahal.
“Zaman dulu satu batu bata ini ditaksir mencapai 300 ribu harganya. Dan yang unik, cetakannya ada yang melengkung,” ujar Aris.
Aris menjelaskan salah satu alasan bangunan itu memiliki banyak pintu yang tidak sekedar untuk membuat sirkulasi udaranya semakin bagus. Namun, juga berkaitan dengan kasta, mereka (orang Belanda) sangat menjaga image.
“Jadi kalau bangun ya memang nggak tanggung-tanggung,” tandasnya
Setelah mengalami pemugaran dan renovasi, kini Lawang Sewu difungsikan sebagai museum yang menyajikan ragam koleksi yang berhubungan dengan kereta api. Mulai dari seragam masinis, alat komunikasi (telepon kayu, telegraf), alat hitung friden, lemari karcis edmonson, karcis kereta kuno, mesin cetak tanggal untuk karcis kereta, dan lainnya.
Discussion about this post